Catatan Awal 19
Februari 07, 2015
Tentang hari pertama 19 tahun pada 3 Februari 2015. Apakah
aku bahagia? Entah. Aku selalu merasa takut pada setiap kali pertambahan
umurku. Sayangnya pertambahan itu terjadi secara otomatis setiap tahun. Tak
peduli setakut dan sekhawatir apapun aku atas bertambahnya umurku. Ketakutan
akan tak bisa menjadi dan berbuat apa – apa yang seharusnya menjadi hak dan
kewajiban manusia dengan tingkat umur tertentu. Aku sudah terbiasa tak diingat,
even oleh orang tuaku sendiri. Mungkin iya orang tuaku ingat, tapi setelah
diberitakan oleh kakakku. Yasudah, aku maklum. Mungkin banyak hal yang menjadi
beban pikiran mereka selama ini, selain tanggal yang kebetulan menjadi hari
lahirku. Sejak kecil seolah terdoktrin bahwa tanggal lahir itu tak pernah
penting, selain hanya deretan angka yang dibutuhkan untuk berbagai administrasi.
Imbasnya
mungkin cukup adil. Bahkan untuk tanggal lahir kedua orang tuaku tak kuketahui. Cukup adil bukan. Tenang saja, ini bukan kisah sedih. Aku sudah terbiasa dengan keadaan dan doktrin semacam ini. Maka ketika seseorang menganggap ini hari spesial, aku tidak sama sekali. Tak ada yang istimewa, malah lebih banyak kejadian yang sama sekali di luar ekspektasiku. Mengecewakan? Mungkin. Bisa saja ada hubungannya dengan pepatah “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya”. Mungkin sederet kejadian yang tak mengenakkan bagiku adalah cobaan dari Allah. Cobaan untuk manusia yang menapaki tingkat kehidupan selanjutnya.
mungkin cukup adil. Bahkan untuk tanggal lahir kedua orang tuaku tak kuketahui. Cukup adil bukan. Tenang saja, ini bukan kisah sedih. Aku sudah terbiasa dengan keadaan dan doktrin semacam ini. Maka ketika seseorang menganggap ini hari spesial, aku tidak sama sekali. Tak ada yang istimewa, malah lebih banyak kejadian yang sama sekali di luar ekspektasiku. Mengecewakan? Mungkin. Bisa saja ada hubungannya dengan pepatah “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya”. Mungkin sederet kejadian yang tak mengenakkan bagiku adalah cobaan dari Allah. Cobaan untuk manusia yang menapaki tingkat kehidupan selanjutnya.
Tahun berganti tahun. Semuanya berlalu tanpa ampun. Bumi
mengalami rotasi dan pula revolusi. Aku hanya menjadi bagian dari sepenggal
jutaan kisah manusia di dunia. Allah sutradaranya. Skripnya telah lama tertulis
di Lauhul Mahfud. Entah skenario macam apa yang telah tertulis untukku. Aku
hanya menjalani peran. Dan mendalaminya dengan improvisasi. Tanpa improvisasi
tentu terasa datar. Ketakutan itu masih terasa hingga sekarang. Takut menjadi
manusia yang biasa saja, tanpa inovasi. Mungkin tak ada yang salah dengan
menjadi biasa saja. Menjalani hidup dengan membiarkannya mengalir begitu saja,
hidup normal. Lalu mati, menjadi tanah dan dilupakan. Apa pentingnya diingat?
Toh semua manusia terlalu munafik untuk mengingat kita. Semua manusia egois.
Mereka hanya mengingat atau mendatangi kita saat butuh saja. Apa tidak cukup
memiliki keluarga. Diingat oleh keluarga saja sudah cukup. Toh selama ini
mereka yang selalu mengalirkan doa – doa terbaiknya, bukan orang lain yang
seenaknya datang dan pergi. Sayangnya aku kembali berpikir tentang menjadi
biasa saja. Menjalani kehidupan yang datar – datar saja? Bukannya memang setiap
lakon perlu melakukan improvisasi, tentunya yang tidak berlebihan. Menjadi manusia yang mencapai aktualisasi
diri seperti pada teori motivasi Abraham Maslow. Menjadi manusia yang inovatif,
berguna bagi manusia lainnya. Memiliki banyak teman karena dedikasinya pada
masyarakat. Memiliki suatu produk atau karya yang bisa diterapkan secara
manfaat bagi kehidupan masayarakat. Dicintai banyak orang, meski ada pula yang
merasa iri sehingga benci. Lalu mati, dikenang sebagai orang baik, dirindukan
dan selalu diingat karya – karyanya. Orang yang dulu benci pun tetap merasa
kehilangan.
Hidup adalah
pilihan. Kata – kata yang mainstream.
Tapi memang kita pengendali alam hidup kita sendiri. Bebas memilih untuk
menjadi orang biasa atau seseorang dengan dedikasi tinggi pada hidupnya. Pada
titik ini, awal 19 tahun dalam hidupku, aku seolah menjadi daun yang gugur. Tak
membenci angin, malah pasrah saja. Lalu jatuh ke sungai dan mengikuti aliran
airnya. Aku bagai daun, tak mampu melawan arus. Tak memiliki pegangan. Tak
pernah tahu ke mana arah angin dan air mengantarkan daun itu. Aku tak paham
tujuanku sendiri. Sedangkan daun itu sudah mulai melayu. Karena gugur, asupan
nutrisi sudah tak didapatkan dari pembuluh xylem maupun floem. Dibalik
kepasrahannya, daun itu merasa takut. Apakah sebegitu tak bergunakanyakah aku,
hingga ranting tak lagi menerimaku. Meminta angin untuk menggugurkanku saja.
Dan meniupnya menuju Aliran sungai agar dibawa ke tempat sekali lagi aku tak
tahu. Bahkan untuk mati dimakan binatang tak seekorpun yang sudi memakanku.
Hanya sehelai daun kering. Tak enak untuk dimakan, tak segar sama sekali. Jadi
daun itu pasrah terombang ambing mengikuti arus. Ah malang sekali.
Aku benar – benar
merasa seperti daun itu. Tak mampu melakukan
banyak hal. Hanya manusia yang mengikuti arus kehidupan. Merasa kecil
dalam setiap bidang. Benar – benar menyadari dalam seiap aspek kehidupanku, aku
hanya nol yang tak memiliki titik temu. Tak ada yang istimewa, dalam segala
hal. Sebut dan list saja. Kuliah, lihat saja transkip nilaiku, sangat
mengenaskan. Kesulitan dalam memahami mata kuliah yang sebenarnya sederhana.
Kadang memahami tapi apes dalam ujian. Agama? Aku bahkan benar – benar
mengalami kemerosotan. Tentang sholat yang tak pernah khusuk, tentang interaksi
dengan lawan jenis, tentang hilangnya hafalan, tentang lalainya amalan, ah
banyak yang semakin membuatku merasa kecil. Organisasi? Mungkin memang aku
diterima sebagai anggota sebuah organisasi yang menjadi motor dalam sebuah
fakultas, eksekutor. Organisasi yang terlihat keren, bahkan aku sempat menerima
banyak kata “selamat” ketika resmi diterima sebagai salah satu anggotanya. Tapi
entah apa yang bisa kuperbuat untuk organisasi ini. Aku takut tak bisa belajar
dengan baik, tak bisa mendedikasikan diri dengan benar. Aku bahkan tak tahu
harus berbuat apa, terlalu banyak diam. Seolah hubungan yang terjadi adalah
interaksi formal saja. Tak mampu melebur bersama orang – orang dalam satu
wadah. Juga tentang bergabungnya aku dengan sebuah komunitas pemersatu
daerah. Statusnya adalah persatuan dan
tujuannya mempersatukan. Sekali lagi, entah mengapa aku tak mampu melebur
bersama mereka. Mungkin karena faktor aku bukan seseorang yang menghabiskan
masa SMA di tanah kelahiranku. Sehingga apa yang menjadi tipe pergaulan mereka
menjadi berbeda denganku. Ah tapi sama saja, di manapu sepertinya aku
begitu. Faktor introvert, iya aku
introvert. Aku hanya takut menjadi orang tak banyak bekerja, hanya berbusa
dalam memaniskan kata. Padahal kataku hanya omong kosong belaka. Aku terlalu
takut menjadi sampah. Padahal aku sendiri sadar bahwa aku tak mampu berbuat
lebih. Mungkin memang pantas jika aku disebut sampah. Hei, bukankah yang
menentukan adalah dirimu sendiri, apakah kau mau menjadi sampah ataukah
permata? Satu lagi, cinta? Entahlah. Rasanya laki
– laki bisa datang kapan saja dan pergi begitu saja, seenaknya. Pernah seorang
teman menaggapiku, dan dia berkata “atau mungkin kau yang tak pernah serius?”. Cukup
menohok. Entahlah. Apakah salah jika aku berpikir bahwa memang di usiaku yang
saat ini (tergolong masih muda) belum waktuya untuk serius. Karena keseriusan
bagiku adalah tahap menuju jenjang pernikahan, sedangkan perjalananku masih
panjang. Entahlah, orang berhak menilai aku pun berhak memilih.
Entah sampai
kapan aku bernasib seberti daun malang tersebut. Entah
apakah aku masih bisa berbuat sesuatu ataukah tetap pada keadaan seperti ini. Aku
selalu berharap yang terbaik. Aku selalu ingin menjadi orang sukses, tentu saja
semua orang menginginkannya. Ketakutan yang kurasakan seolah membenarkan teori
Psikologi Sosial tentang persuasif dan perubahan sikap, yaitu “tingkat
kelabilan seseorang meningkat pada awal masa dewasa”. Itulah sebabnya orang
dengan usia memasuki masa dewasa menjadi
mudah dipersuasi karena tingkat kelabilannya. Baiklah apapun yang
terjadi pada awal 19 tahunku, semoga aku bisa lebih baik nantinya. Bisa berkontribusi
dan berdedikasi maksimal pada hidup yang dikaruniai oleh Allah. Jalani dengan ikhlas, maka akan terasa bebas.
Maka mari berjuang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menelurkan karya – karya
positif dan produktif. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain,
minimal orang sekitarmu. Jadilah apapun, asal bersungguh – sungguh. Karena dengan
bersungguh – sungguh, apapun statusmu maka orang lain akan menyeganimu. Sekian catatan
awal 19. Semoga bisa menajdi manusia yang lebih baik di sisa umur yang semakin
berkurang.
Aku bersyukur masih ada segelintir orang yang ingat dan peduli pada hari lahirku. Meski sebenarnya selalu kuanggap tak berarti.
Terima kasih kuucapkan pada mereka yang telah mengalirkan
doa – doanya padaku, di hari lahirku. Semoga Allah membalas kebaikanmu. Maka biarkanlah waktu terus bergulir, melaksanakan tugasnya sebagai paket cipta bersama bumi yang terus berputar.
4 komentar
Yang terpenting, tetaplah memperbaiki diri. Lakukan secara bertahap, toh setiap manusia tak mungkin kan bisa berubah dalam sekejap? :)
BalasHapusiya mbak, kehidupan adalah sekolah yang belajarnya tiap hari kan hehe :)
HapusBagi saya refleksi seperti ini perlu ya... Ini wahana untuk mengevaluasi sekaligus merancang cita-cita. Justru hidup yang tidak direfleksikan - tidak dimaknai - akan berlalu begitu saja. Sayang sekali.
BalasHapusTapi, penulis sudah mencobanya. Dan, tuturanmu bagus. Dalam. Apalagi dengan tambahan ilmu psikologi, kau semakin memahami dirimu mau bagaimana ke depannya.
Keberanian adalah modal yang tidak dimiliki oleh semua orang. Keberanian menjalani hidup yang misterius. Jalanan yang bisa saja menawarkan banyak cabang, belum lagi jika berkabut. Tapi, keberanian menempuhnya, itu akan jadi pembeda. Apa pun hasilnya nanti, setidaknya sudah berani melangkah maju.
Selamat!
Terima kasih mas fatah, untuk kunjungannya. Semoga saya bisa memiliki keberanian untuk menempuh hidup yang penuh misteri.
HapusSilakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)