Sore Itu
September 17, 2015Credit to https://goo.gl/wYaIpD |
Sore
itu aku pergi. Seperti biasa, membawa beban begitu berat pada pundakku. Beban
yang seolah tanpa ampun, tidak mau tahu bahwa dulu punggung yang dipanggulnya
pernah jatuh hingga retak. Hingga mengubah anatomi tubuhnya mejadi seperti
manusia yang selalu membawa ransel, naturally. Punggung itu memang sudah
terlalu banyak membawa beban. Seandainya ada cara lain membawa beban, mungkin
akan kulakukan. Misalnya, mobil terbang mini pembawa beban (?)
Beban
di punggung ditanggung secara fisik. Berbeda lagi dengan beban di kepala dan
mungkin sebut saja hati. Pada kepala, yang seharusnya menyimpan banyak
informasi dan memori-semua orang tahu kehebatan otak- tapi tak semua manusia
bisa mengoptimalkan kerjanya. Salah satunya adalah aku. Beban di kepala.
Harusnya itu bukan beban, mungkin kewajiban atau bahkan asupan. Beban hati? Hai
hati, apa kabar? Masih baik – baik sajakah? Ada banyak emosi yang terepresi.
Emosi yang harusnya secara bebas terekspresi. Hanya saja, diselimuti ego
defence yang begitu tebal. Harusnya emosi itu muncul alamiah. Tapi bagiku,
lebih alamiah defence.
Sore
itu aku masih melanjutkan perjalanan. Langkah kuarahkan menuju mesin yang
ditunggu semua perantau tiap awal bulan. Kebetulan ini masih masuk dalam
jajaran awal bulan, menjelang pertengahan. Aku sedikit terlambat melakukan
penarikan. Meski sudah memasuki pertengahan bulan, masih saja ada beberapa
antrian di depanku. Sebagaimana biasanya aku, sering melakukan hal diluar
kesadaranku. Sore itu aku tanpa sadar terpaku pada satu arah. Aku tidak menyadari
objek pandanganku. Tiba – tiba objek yang tepat berada pada arah
pandanganku-yang tanpa sadar- mengangkat kepalanya. Dia menyadari sesuatu.
Mungkin dia mengira aku sedang memperhatikannya.
Aku
baru sadar apa yang terjadi ketika mata itu tepat mengarah padaku. Arah yang
semula kutuju, aku membelokkannya. Baru aku sadar, apa yang aku lakukan.
Menatap sebuah objek yang tidak aku ketahui sekian menit, tanpa kusadari.
Sayangnya aku kembali berpikir. Apakah yang kulihat adalah nyata? Sedangkan
beberapa menit kemudian ketika aku mencoba kembali melirik pada arah
sebelumnya, tidak kutemukan sosoknya. Jangan – jangan aku hanya berhalusinasi.
Sekali lagi aku mencoba mencari jejaknya. Sayangnya, aku kehilangan jejak. Arah
objek yang semula hanya seorang, sepi, kini menjadi ramai dan aku tak mampu
mencari apa yang aku cari. Jadi, objek itu halusinasi ataukah memang kenyataan?
Sore
itu, dalam perjalanan kembali, aku mempertanyakan kewarasanku. Sudah sedemikian
gilanyakah aku, sehingga tidak lagi bisa membedakan kenyataan atau halusinasi
ciptaan sendiri. Objek yang kupandang terasa nyata. Tapi klarifikasi lebih
lanjutnya membuatku ragu. Ho, aku tidak sedang mengalami gangguan kan? Atau ini
adalah sindrom kegeeran karena sedang mengambil mata kuliah psikopatologi?
Entahlah. Sore itu, rasanya aku semakin gila.
3 komentar
Itu cerita pengalam mu ta?http://sir-mcmath.blogspot.co.id/2015/07/matematika-teknik-bab-4.html
BalasHapusIya if
Hapushttp://sir-mcmath.blogspot.co.id/2015/07/matematika-teknik-bab-4.html
BalasHapusSilakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)