![]() |
credit to pixabay.com |
Detik terakhir menuju menit ke empat puluh lima. Kulemparkan pandanganku dari jam tangan pemberiannya. Gincu merahku sudah hampir luntur. Untung saja tidak dengan maskara, aku menggunakan yang tahan lama. Entah dorongan apa yang membuatku bertahan dengannya. Ini bukan pertama kali aku menunggunya bermain waktu. Sudah pernah dia memecah rekor membuatku menunggu tiga kali lipat dari waktu sekarang. Tapi tetap saja aku kembali. Tidak, dia tidak sekaya pemilik facebook. Tidak, dia tidak setampan tokoh utama Twilight. Dan aku masih bertahan sampai putaran waktu tahun ketiga bersamanya.
"Sudah lama menunggu?", kemudian dia datang dengan peluh bercucuran
"Tidak selama minggu lalu", aku menjawab datar.
"Beberapa menit lagi aku harus kembali"
"Tidak masalah. Lakukan yang terbaik"
Dia bukan orang kaya, tampan ataupun populer. Dia hanyalah atlet provinsi yang mendedikasikan dirinya pada negeri. Aku selalu tidak suka menunggunya bertanding. Bukan karena tidak cinta. Hanya saja, aku takut keramaian. Tapi dia merangkul ketakutanku.
"Cara terbaik melawan takut adalah dengan menghadapinya", ucapnya saat pertama aku menolak menugguinya bertanding.
Dia memang bukan orang tampan, kaya, ataupun populer. Tapi hanya dia yang mampu menerimaku seperti aku menerimanya. Dia yang mengenalkanku pada setitik keberanian.
#FiksiMini