Saya ingin bercerita tentang hal ini sedari dulu. Sebelum membaca cerita ini, saya luruskan bahwa ini tentang orang lain. Saya hanya sebagai pencerita, pengamat. Ini dari sudut pandang orang ketiga. Begini ceritanya.
Saya punya beberapa teman. Maksud saya, beberapa yang saya (agak) kenal dengan baik. Saya memang bukan tipikal anak populer yang punya banyak teman seantero jagat raya. Kalau sekedar kenalan, ya lumayan banyak. Mungkin lebih banyak kenalanmu. Jadi begini, saya menyimpulkan ada dua tipe teman yang saya kenal. Tipe di sini dalam konteks kecerdasan. Kenapa cuma dua? Saya sudah melakukan sampling terhadap beberapa teman yang saya kenal (agak) baik. Tidak usah bertanya saya memakai teknik sampling apa. Terlalu sensitif dibicarakan oleh mahasiswa, terutama semester lima ke atas. Yah, mata kuliah metode penelitian, apa pun itu namanya di kampus kalian. Dari populasi itu, ada dua sampel. Sebut saja sampel A dan sampel B.
source https://goo.gl/yEuhZo |
Kedua teman saya ini sama - sama cerdas. Bagi saya sih memang dua - duanya cerdas. Dibandingkan saya yang hanya remahan rempeyek pecel. Di sinilah mengapa saya melakukan sampling. Sampel A dan sampel B memilki tipe kecerdasan yang berbeda. Mungkin sekali lagi, agak sensitif membahas tentang kecerdasan. Apalagi jika kuliah di psikologi. Akan banyak definisi tentang kecerdasan. Saya pun tidak ingin memperumit dengan pilah pilih teori mana yang akan saya gunakan tentang kecerdasan. Saya ingin mengambil garis besar saja. Kecerdasan yang saya maksudkan dari persepektif filsafat timur, karena kita hidup di budaya timur. Kecerdasan dalam persepektif budaya timur (secara garis besar) adalah kesempurnaan diri. Hal ini tentang kemampuan memahami dan menguasai beberapa macam ilmu. Tidak hanya ranah intelektual saja, tapi juga emosi dan juga spiritual.
Sampel A, dia orang yang sangat rajin. Setiap hari tiada hari tanpa belajar. Bahkan sering saya bertemu dengannya dalam posisi dia membawa buku atau membaca buku. Dalam konteks ini, buku yang dibaca adalah buku pelajaran atau buku materi. Tidak heran jika nilai - nilainya selalu mencapai urutan teratas saat ujian. Selain itu, secara emosi juga dia lumayan baik. Meski tidak sempurna. Dia ramah pada semua orang. Saya juga sering mendapatkan cipratan ketika dia mempunyai rezeki berlebih. Dia juga sopan terhadap orang yang lebih tua terutama orangtuanya dan guru. Masalah ibadah, tidak perlu ditanya. Dia alim luar biasa. Pemahaman agamanya baik. Sekali lagi, jika dibandingkan dengan saya... saya hanya butiran bedak seribuan. Tidak jarang saya berdiskusi dengannya selain tentang pelajaran, juga tentang agama. Mungkin lebih pantas disebut berguru daripada diskusi. Seringnya dia yang mengutarakan pemahamannya. Sementara saya masih alpa. Sudah bisa membayangkan sampel A seperti apa? Mungkin kalian juga punya teman seperti dia?
Nah sekarang sampel B. Si sampel B ini lebih santai dari sampel A. Bahkan jauh jauh jauh lebih santai. Maksudku, jarang saya melihat dia belajar dalam arti mainstream. Setiap kali saya bertemu dengannya, lebih sering dia membaca novel atau komik. Terkadang dia hanya membuat coretan yang saya gagal paham di buku catatannya. Hanya coretan random. Mungkin cuma dia yang paham maksudnya. Tapi bukan berarti dia tidak menjadi deretan teratas ketika ujian. Dia bahkan mampu bersaing dengan sampel A. Terkadang mampu mengalahkan sampel A. Kalau berbicara emosi, dia cenderung lebih bergejolak. Dia tipe anak yang impulsif. Ketika ada sesuatu, dia selalu merespon dengan cepat. Sederhananya, dia orang yang blak - blakan. Mau ketawa ya ngakak, kadang (maaf) ngupil dan kentut sembarangan. Namun bukan berarti dia tidak sopan pada orang yang lebih tua. Bisa saja, tapi tidak sehikmat sampel A. Nah kalo masalah ibadah nih, dia juga termasuk hamba yang rajin. Saya sering melihat ibadahnya yang khusyuk. Meski kadang juga sering memergoki dia tertidur saat atau sesudah ibadah. Tapi jika melihat dari penampilan, mungkin kamu tidak akan menyangka bahwa dia adalah pribadi yang khusyuk dalam beribadah. Dia sendiri lebih simpel dalam berpenampilan, seadanya. Berbeda dengan sampel A yang selalu berpenampilan sopan dan rapi. Nah, sudah terbayang kan sampel B seperti apa? Mungkin kalian juga punya teman seperti sampel B?
Dua - duanya cerdas. Masalah intelektual tak usah ditanya. Cara mereka berinteraksi dengan orang lain pun punya keunikan tersendiri. Dua - duanya menyenangkan. Pun tak kalah dengan ibadah mereka yang sama - sama baik. Saya rasa keduanya mencintai Tuhan. Nah, ini dia permasalahannya. Mereka berdua berteman. Meski bukan sahabat yang ke mana - mana bersama, mereka saling kenal dengan cukup baik. Hingga suatu hari mereka berdua bertengkar. Sebab pertengkaran bukan karena ala - ala rebutan pacar seperti pertemanan zaman sekarang biasa saja. Mereka bertengkar karena hal yang sentimentil. Itu karena perdebatan sensitif tentang iman kepada Tuhan.
Mungkin butuh diluruskan lebih jauh. Kami beragama Islam. Ritual ibadah yang utama, yakni shalat wajib dikerjakan 5 kali sehari. Sampel A dan Sampel B sama - sama rajin dan khusyuk dalam sholat wajib. Bedanya, sampel A menambah sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya. Si sampel B, saya tidak tahu banyak. Dia pandai merahasiakan ibadahnya. Bukan pula berarti si sampel A adalah riya', hanya saja saya sering memergokinya.
Mereka bertengkar hanya karena sampel B sempat bertanya - tanya tentang keimanannya. Saya lupa pertanyaannya secara pasti, begini kira - kira.
"Apa benar Allah itu ada? Apa benar Dia mendengar doa kita? Apa iya Dia mampu melihat kita yang segini banyaknya? Apa benar apa yang dijanjikanNya tentang surga - neraka? Apa iya kisah - kisah agamis yang kita pelajari itu benar, atau hanya dongeng untuk mendoktrin kita saja? Apa iya... ? Bagaimana bisa...? Apa benar...?? Bla Bla Bla....
Si sampel A menjawab dengan kecewa, "Hei, hati - hati nanti kamu murtad loh"
Si sampel B langsung impulsif tidak terima. Dia mempertanyakan hal tersebut bukan bermaksud meragukan keagungan Tuhan. Dia hanya ingin semakin mendalami keimanannya dengan tidak sekedar percaya tanpa balas. Dia ingin mencari kebenaran untuk mempertebal keimanannya. Sejak saat itu mereka bertengkar. Sampel B menemui beberapa temannya atas masalahnya dengan sampel A. Salah satunya saya. Saya sudah sangat terbiasa dengan pembahasan skeptis tentang keimanan pada Tuhan. Saya sendiri percaya, iman terburuk adalah iman yang hanya sekedar percaya, tanpa tahu mengapa harus beriman.
"Kita diperbolehkan kok, mempertanyakan keberadaan Tuhan. Selama itu untuk mempertebal keimanan. Toh dulu Nabi Ibrahim juga mencari kebenaran keberadaan Allah."
Begitu kira - kira jawaban saya yang terinspirasi dari guru tafsir. Akhirnya pun mereka berdua kembali baikan. Bukan hanya karena jawaban saya. Ada banyak orang yang berperan di balik mereka.
Yah begitu saja kira - kira yang ingin saya ceritakan. Nah, yang ingin saya tanyakan: menurut kalian siapa yang lebih cerdas di antara mereka?
![]() |
ilustrasi oleh redaksi |
Tanganku
tegang memegang kemudi. Aku
berusaha mencari celah untuk menyalip kendaraan di depanku. Tapi sialnya jalan ini terlalu
sempit untuk daerah perbatasan. Aku
masih berada di Tanah Merah, Bangkalan. Masih jauh untuk menuju RSUD Sampang. Butuh sekitar satu setengah jam
lagi untuk menuju sana. Kabar tentang ayah masuk rumah sakit benar – benar
membuatku kalut.
Mungkin ini salahku yang lebih
memilih bekerja di Bangkalan. Aku
tak bisa berada di dekat ayah. Terutama
saat keadaan darurat seperti ini.
Padahal
aku lahir dan besar di kota Sampang.
Tapi
aku tak bisa berbuat lebih, ini
tuntutan dinas. Untungnya
ayahku merestui apapun keputusanku.
Tetap
saja, aku tak bisa memaafkan diriku jika
terjadi hal buruk pada ayah.
![]() |
ilustrasi oleh redaksi |
Di tempat
suci ini, kubulatkan tekat untuk bertaubat. Jauh dari keramaian kota, tenang
tanpa polusi. Bahkan tempat ini terletak di perut gunung. Sepanjang mata
memandang, semua motif alam berwarna hijau. Hutan, sawah, terasiring yang berundak
– undak, indah sekali. Tak hanya bibir, mataku pun turut tersenyum ketika
memandangnya.
29
Juni 2011 awal di mana aku menginjakkan kaki di sini. Tak seorangpun aku kenal.
Semua serba baru. Tidak ada teman yang berasal dari SMP yang sama. Sekalipun, tak
ada yang satu kota denganku. Senang juga bisa berkenalan dengan teman – teman
baru dari berbagai daerah. Satu hal yang jadi kendalaku. Aku tak bisa
menggunakan bahasa daerah tempat ini. Memang, daerahku cukup jauh. Perjalananku
tak hanya menempuh jarak, tapi juga budaya dan bahasa.
Aku
merasa fine di sini. Tak setitik air
matapun menetes di mataku. Risih dan jengah rasanya mendengar teman – temanku
berkata “Aku gak kerasan” atau “Aku kangen mama”. Apalagi ketika melihat salah
satu dari temanku menangis hanya karena jauh dari orangtua. Dasar manja. Aku
bisa tertawa di saat yang lain menangis. Tapi itu hanya awal. Malam ini aku
menangis. Entah apa yang kutangisi. Mungkin ini yang dirasakan teman – temanku
saat pertama kali di sini. Itulah air mata pertama dan terakhirku. Aku berjanji
tidak akan lagi menangis untuk apapun. Karena bagiku air mata itu mahal dan
gengsi.
Kukira
hidup jauh dari orangtua itu enak. Bebas melakukan apa saja yang kita mau. Tak
ada lagi ocehan panjang lebar dari ayah – bunda. Tidak perlu berdebat karena
beda pendapat dengan ortu. Tapi semua salah. Memang jauh dari orangtua itu
bebas. Ibarat bebas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Ternyata lebih
rumit dari yang kukira. Inilah hidup yang sesungguhnya. Harus menyelesaikan dan
menghadapi masalah dengan diri sendiri.
Aku
kurang suka dengan yang namanya curhat. Kepribadianku memang introvert. Kedengarannya ironis, di
sebuah pondok pesantren yang harusnya tiap individu memiliki jiwa sosial yang
tinggi. Namun inilah aku. Sudah kucoba untuk membuka diri, tapi bullshit.
***
Aku
terbangun, 2 jam sebelumnya adalah 22.00. Perlahan, aku mulai menyatukan
kembali jiwa dan ragaku. Kulihat sekitar, teman – teman sekamar sudah tidur. Aku
meraih tasku dan mengambil posisi di balik pintu. Kuraba – raba isi tasku. Aku
sedang mencari benda berbentuk kotak putih dan sebuah batang yang dapat
mnghasilkan api.
“Srrrt….pffuhhh…”
Satu
hisapan dan satu hembusan. Enjoy
sekali rasanya. Kulanjutkan menghisap dan menghembuskan asap pada benda itu hingga
habis sebatang. Kurang puas, kulanjutkan dengan batang – batang yang lain. Sebenarnya
tak ada keinginan untuk kembali pada kebiasaan lamaku yang buruk ini. Tapi tak
ada lagi plihan bagiku. Aku tidak menemukan teman yang cocok. Semua sama saja, munafik!
Manis di depanku, menusuk dari belakang. Seorangpun, tak ada yang mengerti aku.
Meski telah lama mengenal namaku, mereka tak mengenal hatiku. Satu
kesimpulanku, teman terbaikku sejak dulu : rokok.
“Uhuk, uhuk….”
Salah
satu dari temanku yang tidur tebatuk – batuk. Akhirnya aku menyudahi rokokku. Tidak
enak hati rasanya jika sampai membuatnya sampai terganggu karena asap
buatanku. Kubersihkan semua sisa batang hisapanku yang telah menghitam
ujungnya. Aku tak ingin meninggalkn jejak sedikitpun.
Pukul
00.00, aku menuju lantai tiga gedung asrama. Memojokkan diri dan mulai
melakukan ritualku seperti biasanya. Setelah 2 batang rokok habis, kudengar
langkah kaki manusia yang sepertinya menuju ruangan ini. Aku terkesiap mencoba
menutupi semuanya.
“Dik, kamu
ngapain di sini?”
“Eh, belajar.”
Ternyata
bagian keamanan asrama. Untungnya tiap kali akan merokok, aku selalu membawa
tas sebagai cover.
“Sebaiknya
sudahi dulu, sudah malam. Silahkan kembali ke kamarmu dan istirahatlah.”
“Baiklah,
terima kasih.”
Rapi
sekali. Tak seorangpun tahu aku seorang perokok. Siapa sangka, seorang gadis
pendiam, kalem, dan terlihat selalu tenang, ternyata seorang pelaku kenakalan
remaja. Apalagi kasusnya di dalam sebuah pondok pesantren.
***
Aku
selalu berpikir di mana tempat yang pas untuk merokok. Tempat yang sekiranya
tidak menggangu dan tak diketahui oleh siapapun. Aku memandang lurus dari
jendela lantai tiga. Pandanganku kosong. Butuh beberapa menit menyadari ke mana
arah mataku. Saat sadar akan pandanganku, aku tersenyum melihat bangunan tua
yang terletak tiga meter dari tempatku berdiri.
“Good idea”, gumamku.
***
Seperti
biasa, aku tidur lebih awal dari teman – temanku. Lalu bangun pada pukul 00.00.
Sesuai rencana tadi pagi, aku akan merokok di gubuk itu. Sebenarnya bukan
gubuk, melainkan gudang tempat penyimpanan barang – barang bekas milik alumni. Namun jika melihat penampilannya yang menjenuhkan mata, pantaslah kusebut gubuk.
Suasananya
gelap dan lebih menyeramkan pada malam
hari. Masa bodoh, aku hanya ingin melepas rasa stresku. Kuambil sebatang rokok
dari tasku, kusulut dan kuhisap perlahan. Gerah sekali gubuk ini, aku pun
mencopot kerudungku.
Aku
menikmati setiap hisapan dan hembusan ini. Sesekali kucoba menghembuskan
melalui hidung. Ada satu hal yang baru kusadari. Di seberang sana, jarak yang
tak terlalu jauh. Aku melihat cahaya merah dalam gelapnya gubuk ini. Kurasa itu
adalah kepala rokok. Berarti ada juga yang merokok di sini.
“Hey”
Dia
mencoba menegurku. Mungkin dia juga menyadari keberadaanku di sini sedari tadi.
Telingaku mendengar suara itu. Seperti suara putra. Dengan kegopohanku, aku
memasang kembali jilbab yang sempat kucopot. Aku sendiri tak tahu maksud dari
sikap reflekku tadi. Aku baru mengenal kerudung di sini. Mungkin aku
terpengaruh lingkungan. Putri – putri di sini selalu menjaga kerudungnya di
manapun, apalagi di depan laki – laki.
“Apaan?”
“Ngapain
kamu di sini?”
“Jelas
– jelas udah tahu aku di sini ngerokok”
Dasar
pertanyaan aneh. Untung saja dia tidak melihat aksiku tadi. Maksudku, tak bisa
melihat dengan jelas. Hanya ada api rokok.
“Cuma
nanya. Emang sejak kapan kamu ngerokok?”
“SMP”
Aku
menjawabnya dengan singkat. Kami kembali pada aktifitas masing – masing.
“Kelas
berapa kamu, Dik?"
“Satu,
kamu?”
“Kelas
tiga.”
“Oh,
pantesan langsung manggil aku adik.”
Meski
tak bisa kulihat jelas, aku mengerti bahwa dia sedang mengakomodasikan matanya
untuk memperhatikanku.
“Gila
ya, seorang cewek, baru kelas satu udah ngerokok, di gudang ini pula, keren!
Berani banget!”
“Terus?
Terserah, kamu mau anggep aku cewek…apalah terserah!”
Kuraba
kotak rokokku, kosong. Sampai – sampai aku menunang – nuang kotak itu, tapi
hasilnya nihil. Aku kehabisan rokok.
“Sial”
“Kenapa?
Kehabisan rokok?”
“Kok
tahu?”
Mengapa
dia bisa tahu sedetail itu? Mungkinkah kakak kelasku itu memperhatikan tiap
gerikku? Kakak itu mengambil sekali hisapan lalu menjawabku.
“Kita
sama – sama perokok, jadi apa sih yang gak ngerti?”
“Kamu
pake rokok apa?”, Dia lanjut bertanya
“Mild”
“Pake
aja dulu rokokku, aku pake Magnum Filter”
Dia
menyodorkan sekotak rokok yang telah separuh isinya.
“Benaran
gak papa?”
“Udah
ambil aja”
Meski
ragu, kucoba tuk menghisap si Magnum Filter. Yang membuatku canggung, aku belum
pernah mencoba merk ini.
“Gimana?”
Pertanyaan
itu tak kujawab. Aku menyimbolkan kata “oke” dengan mengacungkan tinggi –
tinggi rokok pemberiannya. Tawa kami pun meledak bersama.
“Dik?”
Kakak
itu menegurku setelah kami hening beberapa saat pasca tertawa bersama.
“Hah?”
“Kalo
boleh tahu, siapa namamu?”
Aku
kaget bukan main. Sampai – sampai aku menahan asap yang akan keluar dari
mulutku.
“Uhuk…”
Aku
terbatuk singkat karena menahan asap yang harusnya kuhembuskan.
“Untuk
apa kamu tahu namaku?”
“Ya,
cuma tanya”
“Kamu
gak perlu tahu namaku. Aku gak mau cari masalah. Lagipula aku ke sini cuma mau
ngerokok, gak ada tujuan lain”
“Oke,
aku bisa ngerti”
Kami
kembali hening seperti posisi awal, sibuk dengan rokok masing – masing. Hingga
akhirnya aku telah mengahabiskan seluruh isi kotak yang diberikan kakak itu. Tak
nyaman rasanya jika aku harus meminta lagi. Kulirik jam di pergelanagan
tanganku.ternyata sudah jam 2 pagi. Lebih baik aku kembali ke asrama.
Aku
membereskan sisa – sisa rokokku. Kumasukkan sampah rokok itu ke dalam tas. Tetap
dengan alasan yang sama, aku tidak ingin meninggalkan jejak. Ketika aku mulai
beranjak,
“Mau
ke mana?”
“Mau
balik, udah jam 2”
“Oh,
Ya sudah”
***
Aku
tetap mengikuti solat malam, juga kewajiban dan peraturan yang lain. Hingga
saat ini belum satupun yang tahu aku sering merokok. Aku selalu menyimpannya
dengan rapi. Gubuk itu, sudah menjadi rumah keduaku. Hampir setiap tengah malam
aku menuju bangunan yang jarang terjamah orang lain.
Malam
demi malam, aku melampiaskan rasa jenuh di gubuk itu. Dan tetap saja, kakak itu
juga istiqamah merokok di sana. Sering juga kami tertawa bersama. Ada saja yang menjadi pembicaraan antar sesama
perokok. Kami saling kenal, tanpa saling tahu nama masing – masing.
***
Minggu
malam, ketika sedang
bersalawat atas Nabi ada kejadian yang menghebohkan. Saat para penghuni
pesantren berada di aula lantai tiga, kami mengalami kecelakaan. Awalnya, aku
hanya melihat cahaya merah dari jendela. Cahaya itu berasal dari sebrang sana,
gubuk itu. Sedetik kemudian, cahaya itu melebar dan melahap basecampku. Bahkan pohon besar di
sampingnya turut jadi korban. Seketika
itu pun, kami mengalihkan perhatian pada kebakaran itu. Acara shalawatan bubar
tidak pada waktunya.
“Aaaaa……!”
Teman
– teman reflek menjerit karena mati
lampu. Listrik sengaja dipadamkan untuk menghindari korsleting. Tentu agar
kebakaran tak semakin merambat. Ustad dan santri putra bahu – membahu berusaha
memadamkan jilatan api itu. Kami para santri putri menuju lantai dasar, karena
merasa takut dengan padamnya listrik dan kebakaran ini.
Dari
sini, aku melihat dengan jelas tempat yang biasa kugunakan sebagai basecamp perlahan mulai rapuh.
Sebenarnya, aku menangis dalam hati. Tak ada lagi tempatku melepas rasa stress,
ataupun berbagi dengan kakak itu. Aku tak tahu lagi tempat yang nyaman selain
gubuk itu. Rasanya, aku lah yang paling kehilangan atas kebakaran itu.
Kakak
itu, apa dia juga mersakan hal yang sama? Kurasa dia juga kehilangan. Kita tak
akan bertemu lagi. Aku kenal, tanpa tahu namanya. Entah, apa yang harus
kulakukan selanjutnya.
“Shallu
Alan Nabi Muhammad”
Seruan
itu sebagai simbol bahwa kami diperintah untuk kembali bershalawat. Api telah
berhasil dijinakkan. Gubuk itu, hanya tinggal kerangka. Mungkin inilah
yang disebut teguran dari Allah. Aku telah mengecewakanNya. Aku telah
berkhianat pada Nabi, juga seluruh isi pesantren ini. Ternyata rokok hanya
bahagia sesaat, dia sumber petaka yang abadi. Ustad bilang, kebakaran itu
disebabkan punting rokok yang masih menyala. Apa karena aku, atau kakak itu?
Sebaiknya
aku berubah sebelum semua tahu aku turut mengambil peran dalam penyebab
kebakaran itu. Meski tak hanya aku, tapi juga kakak itu. Aku ingin berhenti merokok,
tapi bagaimana bisa? Sedangkan rokok telah menjadi candu bagiku. Aku ingin
membuang jauh – jauh kisah tentang aku, dia (kakak), dan rokok.
Terbit di Radar Mojokerto (13
Januari 2012)
Siang menuju dini hari amatlah lama. Kami mencoba jalan – jalan di
sekitar Paltuding. Beberapa kilometer sebelum Kawah Ijen, ada Kawah Wurung yang
katanya menyerupai keindahan bukit di Selandia Baru. Bahkan kami baru tahu info
saat itu juga, kami melihat palang beloknya saat perjalanan menuju Paltuding.
Bisa dijadikan list wisata nih someday.
Sebelumnya juga kami sempat melihat air terjun hijau, dekat kawah ijen. Sayangnya
kalau jalan kaki hitungannya tidak dekat. Air terjun itu bisa hijau karena
belerang dan ganggang hijau. Perpaduan tersebut bisa menampilkan warna hijau
mengkilau, indah. Sayangnya kami tidak menuju sana. Untuk berjalan turun lagi
saya tak mampu. Waktu itu saya pusing berat, mungkin kurang tidur karena you know semalam hanya tidur beberapa
jam beralaskan kardus berbantal tas. Warung tempat kami makan menyediakan
penginapan. Namun kami merasa seratus ribu terlalu mahal untuk sekedar
istirahat siang dengan fasilitas yang seperti itu. Kami memilih tidur di warung
itu, pada kursi dan meja sajinya. Kami memeilih meja paling pojok menghadap
jendela. Lagi – lagi tidur sembarangan kan hehe.
Cukup lama kami tidur siang. Ketika bangun sudah masuk waktu sore. Lumayan
sekali, pusing di dahi saya hilang. Kami memutuskan stay di warung itu. Hari
mulai gelap. Lampu berenergi genset mulai dihidupkan. Seberang sana, lapangan
kosong yang memang digunankan sebagi bumi kemah mulai menghidupkan api unggun
mereka. Semakin malam, dingin terus menusuk tulang. Sampai pada titik saya bisa
menghembuskan uap air ketika meniup udara. Ala – ala titanic. Lagi – lagi, kami
tidur di warung itu. Menunggu dini hari lama sekali. Akhirnya pukul sebelas
malam kami bangun. Beberapa jam lagi pos pendakian akan dibuka. Ketika saya hendak beranjak menunggu di depan
pos, ternyata ada seseorang yang sepertinya saya kenal. Benar, dia Sandy, teman
semasa SMA. Teman di pesantren. Dia berempat, satu- satunya perempuan di sana.
Dia bukan tipikal perempuan tomboi yang berteman dengan laki – laki, hanya saja
Sandy bersama seorang laki – laki yang juga saya tahu. Meskipun laki – laki itu
tidak mengenali saya. Mauli, pacar Sandy. Dan dua orang laki – laki yang entah
teman dari Mauli atau Sandy. Sepertinya lebih mungkin teman dari pihak Mauli.
“Inun? Inun siapa? Anak Lasvizard ta? Apa Nesto?”
“Lasvizard lah”
Tipikal percakapan sepasang kekasih yang meskipun berdebat tetap saja
tersirat senyum di dalamnya. Tidak, saya tidak baper.
Mereka menawari mendaki bersama. Saya menawari pada partner. Mungkin
partner sungkan, jadinya saya menolak halus tawaran untuk mendaki bersama itu. Di
luar, dekat pos pendakian sudah ramai sekali. Apalagi depan toilet, suasana
dingin membuat sistem regulasi kita bekerja ekstra.
Saya sempat ngobrol dengan seorang ibu muda. Dia dari Bali, mendaki
bersama suaminya berdua (relationship goals banget gak si uwuw). Dia bercerita
ingin sekali menacapai puncak. Alasannya karena ketika di pendakian sebelumnya,
Gunung Agung Bali, dia tak sempat mencapai puncak.
“Padahal udah deket. Tapi ya adek saya tiba – tiba kakinya (kaki apa
perut ya? Lupa hehe) kram. Ya masak saya tinggal. Ya uda sampe segitu aja.”,
ucapnya dengan logat Balinya yang kentel.
Dia pun bertanya balik kepada
saya tentang pendakian ini. Kebetulan waktu itu saya sendiri, ibu itu juga
sendiri. Kami sama – sama menunggu partner hiking
yang lagi antri buang air. Dia begitu amaze
sama saya. Heran, perempuan cuman berdua kok nekat ke sini. Saya tertawa saja. Sampai
– sampai ketika suaminya datang dia bercerita bahwa saya hanya berdua dengan
teman perempuan, dari Surabaya!
Pos semakin ramai. Kami tak mau kalah start. Kami mengantre untuk
membeli tiket pendakian, harganya murah kalo ingatan saya gak salah sekitar
enam ribu rupiah. Sebaiknya memang kalo mendaki beli tiket dan pake jalur resmi
aja. Udah banyak tragedi pendaki yang pake jalur sendiri, eh endingnya... ~you know what I mean. Akhirnya petugas
mempersilahkan kami masuk, tiket passed. Pendakian dimulai yeay.
Baru di awal perjalanan, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari
Pare. Melihat kami hanya berdua, mereka menawari untuk mendaki bersama. Akhirnya
kami ikut saja. Mereka baik sekali. Tidak terlalu memkasakan. Rombongannya terdiri
dari beberapa laki – laki dan lebih banyak perempuannya. Entah mereka sangat
sabar menghadapi pendaki perempuan seperti kami. Biasanya cowok kan ogah
mendaki bareng cewek (meski gak semua sih) karena alasannya cewek bikin ribet,
dikit – dikit minta berhenti.
Sepanjang pendakian dini hari itu, bima sakti terlihat jelas. Indah sekali.
Langit tanpa polusi terlihat cantik. Dalam pendakian terkadang kita harus
minggir untuk memberi jalan bagi bapak – bapak penambang belerang. Kawah Ijen
memang penghasil belerang banget. That’s
why masker adalah bawaan wajib untuk Kawah Ijen, selain melawan dingin dan
debu juga untuk mengurangi bau belerang yang menusuk. Kalo kamu gak kuat
mendaki, ada jasa tarik troli dari bapak – bapak penambang. Kalo mendaki
biayanya 250 ribu, sedangkan kalo turun biayanya cukup 150 ribu. Tapi apa
esensi mendaki kalo kita tidak benar – benar mendaki ya hehe. Selama kaki kita
masih sehat, pake kaki aja deh.
Kami semakin dekat dengan puncak. Tapi kami harus memilih, blue fire
atau sunrise. Tidak bisa dua – duanya. Hanya pendaki handal yang bisa
menyaksikan blue fire dan sunrise. Masalahnya
adalah, untuk mencapai blue fire, harus turun entah berapa jaraknya itu menuju
sumber api. Blue fire aktif dari pukul 01. 00 sampai 05.00 WIB. Lalu, untuk
mengejar sunrise harus naik lagi menuju puncak Kawah Ijen. Turun ke blue
firenya aja jauh, apalagi naik, ditambah naik lagi ke puncak. Ah sudahlah. Sunrise
bisa dilihat di mana – mana. Tapi blue fire, cuma ada dua di dunia, Indonesia
dan Islandia. Maka kami tidak akan melewatkan kesempatan ini. Meski harus
sewa masker gas seharga lima puluh ribu per orang karena radiasi gas yang amat
kuat dari blue fire.
Turun ke blue fire masih ditemani oleh rombongan Pare. Harus hati –
hati juga turunnya, karena medannya amat curam. Sampailah kami. Saat itu, saya
seperti melihat cahaya biru menari. Indah sekali. Benar – benar hypnotized. Kami
terpisah dari rombongan Pare. Saya lihat langit masih gelap. Perkiraan saat itu
jam 4 dini hari. Saya ingin mencari rombongan Pare, sekedar pamit naik duluan
dan terimakasih atas bantuannya. Rombongan Pare tidak ditemukan, yasudahlah
biarkan mereka merasakan kebersamaan persahabatan. Kami memilih untuk naik
duluan karena saya sudah tidak kuat
dengan gasnya, selain baunya menusuk hidung juga membuat mata iritasi. Saya juga
harus sholat subuh. Langit terihat agak terang dari sebelumnya. Kami masih perjalanan
naik dari blue fire. Partner menyarankan saya untuk sholat di situ dulu, kami
minggir dari jalan duduk di sebuah batu. Yang bisa saya lakukan adalah,
bertayamum dan sholat duduk. Tidak ada air di situ, hanya batu, debu, belerang,
api.
Kelar saya sholat, kami istirahat sejenak di tempat itu. Kemudian disusul
beberapa pendaki juga istirahat di dekat kami. Tak lama setelah itu, ada
seorang pendaki lewat dan mengingatkan kami.
“Mbak, kalo mau istirahat jangan di situ. Soalnya nanti takut batunya
longsor dari atas”
Iya sih, tempat kami istirahat agak ekstrim. Akhirnya kami sudahi
istirahatnya, lanjut menuju puncak. Sampai
di atas, langit sudah pagi. Bau belerang semakin menusuk saja. Kami istirahat
sejenak. Lanjut lah kita sampai pada kawah yang diisi lautan belerang. Luar biasa.
Udah gitu aja? Ya.. then
kita turun. Berkemas. Kami balik ke warung tempat kami tidur kemarin. Barang –
barang kami titipkan di sana. Baik banget ibunya. Bahkan kami dipinjami tongkat
untuk mendaki. Sebenarnya tanpa tongkat bisa sih. Ya it’s okay lah menghargai bantuan orang. Buat gegaya juga keren kan.
Kawah Ijen worth to try buat
pendaki pemula (like me). Medannya
tidak terlalu sulit. Ketinggiannya mencapai 2799 mdpl. Lumayan kan. Kebetulan ketika
saya ke sana jumlah pendaki mencapai 4000 orang. Waw, maklum long weekend.
Sorry to say. Saat perjalanan pulang dari Banyuangi menuju Surabaya,
kami dilanda kabar duka. Salah satu keluarga Fakultas Psikologi UNAIR, pak
Udin, meninggal dunia. Innalillahi... Kami semua tahu, betapa Pak Udin adalah
sosok yang ramah senyum. Selamat jalan Pak Udin.