Mencari Agama
Januari 19, 2016![]() |
Sumber gambar : http://tinyurl.com/mencariagama |
Sebelumnya, aku akan bercerita sedikit tentang mengapa aku melontarkan pertanyaan itu.
Mungkin hanya sekilas aku mengenalnya. Tentang nama lengkap, nama panggilan, dan asal daerah. Hanya itu yang aku tahu darinya. Pun begitu dengannya. Bahkan mungkin dia hanya tahu nama lengkap dan panggilanku saja, tanpa tahu daerah asalku. Tapi itu serasa cukup. Tidak perlu muluk – muluk hingga mengetahui kehidupan pribadi yang dirasa privasi. Tidak ada tukar – menukar cerita ataupun rahasia. Cukup dengan menikmati satu hari sampai sore bersamanya, setiap pekan.
Interaksi kami hanyalah sebatas duduk bersama, sesekali menertawakan hal yang sama – sama dianggap lucu, dan mungkin jika aku khilaf… kami berdiskusi. Tentang ini dan tentang itu. Tapi aku jarang sekali bersuara. Aku terlanjur takut menyuarakan pendapatku. Dia lebih banyak berpendapat. Sementara aku hanya sesekali mengoreksi dan lebih banyak mengiyakan. Dia orang yang berani berpendapat. Meski diam – diam aku tahu pendapatnya tidak seratus persen benar. Tentu berbeda denganku yang pengecut dan penakut. Untuk berbicara saja, dia harus memancingku terlebih dahulu.
Berbulan – bulan kami tetap pada pola interaksi yang sama. Sesekali kami sempat mengobrol lewat sosial media. Namun tentu sangat jarang. Hanya jika kami benar – benar ada kepentingan. Dari bulan – bulan yang sudah berlalu, aku mulai sedikit memahami kebiasaanya. Caranya melepas sepatu, mengusap keringat, bagaimana dia berpamitan padaku sebelum pulang, dan bagaimana dia tersenyum padaku. Wait, senyum? Iya, senyum.
Senyum yang dilontarkan adalah senyum biasa. Sebagaimana sapaan ketika bertemu. Hanya saja ada yang berbeda ketika pertemuan kami semakin berkurang intensitasnya. Kalimat sapaannnya tetap sama. Senyumnya pun masih sama. Hanya saja aku sedikit ingin tertawa melihatnya (seperti) salah tingkah ketika bertemu denganku lagi setelah hari – hari alpa kemarin. Kemudian aku bertanya dalam hati, adakah yang berbeda darinya? Mungkin ini biasa saja. Tak bisa disimpulkan dari premis – premis miskin data.
Hingga pada hari itu, kami (sebut saja) plesir ke suatu kota di Jawa Timur. Kami masih sama. Tidak banyak mengenal. Cukup nama yang kami tahu. Berdiskusi tentang banyak hal. Menertawakan hal yang sama – sama kami anggap lucu. Makan bersama. Saling menggojloki ketika kami digoda oleh orang lain. Merasakan takut yang sama. Menertawakan kebodohan bersama. Aku senang kala itu, jujur saja.
Masih di saat yang sama. Aku dan dia plesir. Namun di sini pertanyaanku muncul. Ketika itu ada seseorang dari suatu komunitas menginstruksikan jam sholat dan rehat. Dia memperhatikan dengan seksama. Diantara keseriusan instruksi itu, dia menyeletuk.
“Sholatnya dijamak saja, haha”.
Kala itu aku setuju pendapatnya. Kulihat, komunitas itu dari kota yang memenuhi syarat untu menjamak sholat. Tentu tidak salah jika sholatnya dijamak. Saat itu adalah waktu untuk sholat dhuhur. Bisa dijamak taqdim ataupun takhir. Tergantung tujuan masing – masing. Belum pula aku hendak bersuara untuk menyetujui pendapatnya, dia kembali berucap.
“Tapi aku tidak sholat ”
Dia berkata seperti “aku mau makan bakso”. Datar . Tidak ada nada bercanda dalam kalimatnya. Seperti sebuah kalimat utuh. Baru saja aku berpikir bahwa dia adalah seorang yang memahami konsep sholat jamak. Namun kalimat lanjutannya adalah ambigu. Ingin kutanyakan alasan mengapa dia tidak sholat. Namun urung. Aku menjadi bertanya pada diri sendiri. Apakah dia muslim yang tidak melaksanakan sholat? Atau, apakah dia non muslim yang notabenenya memang tidak sholat?
Hari itu, aku mempertanyakan kepedulianku. Aku berusaha mencari datanya. Barangkali bisa kutemukan apa agamanya. Sejak saat itu aku mencari agama. Suatu hal yang amat langka aku pedulikan dari orang lain. Sayangnya hingga detik ini aku sama sekali belum mendapatkan data tentang agamanya. Namun jika interkasi antara kami baik – baik saja, apakah agama itu penting? Setidaknya untuk menjawab rasa penasaranku atas kalimat yang diucapkannya.
Jadi, aku kembalikan pada pertanyaanku semula. Apakah mencari agama itu penting?
0 komentar
Silakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)