Angin berhembus lembut menerbangkan anak – anak rambutku. Pandanganku masih lurus ke depan. Mungkin orang lain menganggap ini biasa, tapi rasanya berat. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, termasuk diriku. Air mataku sudah kering sedari tadi. Mungkin saja air mataku sudah terkuras habis, hingga tak ada lagi hasrat untuk menangis. Entah, biarlah orang lain menyebut aku berlebihan. Ini sakit. Ini yang pertama untukku. Pertama tak selalu indah. Terkadang aku iri dengan orang lain yang memiliki pengalaman indah dengan cinta pertamanya.
Sekali lagi angin menerpa wajahku. Kali ini lebih kencang. Ditambah lagi dengan kilauan mentari senja. Hari semakin sore. Aku tak tahu sudah berapa lama duduk di sini. Pun tak peduli pandangan orang lain. Rasanya orang lain pun tak peduli dengan keberadaanku. Ini hari Senin, seharusnya aku masuk sekolah tadi pagi. Sayangnya aku malah pergi ke pantai ini. Awalnya aku berangkat dari rumah seperti biasa, memakai seragam seolah hendak sekolah. Sesampainya di pantai ini, aku melepas kemejanya, dan memakai T- shirt yang kukenakan dibalik seragam. Hanya rok biru saja yang masih melekat sebagai identitas sekolah.
Umurku 15 tahun dan baru merasakan apa itu cinta pertama. Mungkin cukup telat untuk ukuran anak zaman sekarang. Bahkan ada yang sudah pacaran sejak SD. Caraku mendapatkannyapun mungkin dianggap tak baik. Aku merebut pacar sahabatku. Iya, aku jahat. Tapi bukan aku yang mendekatinya terlebih dahulu. Dia yang hadir begitu saja padaku. Sebagian orang menyalahkanku. Bagaimanapun, seorang tamu tak kan masuk jika tuan rumahnya tidak mempersilahkan. Aku dianggap teman makan teman. Padahal apa aku salah, jika cinta itu hadir. Bukankah cinta anugerah Tuhan, apa pun bentuknya. Aku jatuh cinta baru sekali ini, tapi sebegitu salahnya kah?
Matahari hampir tenggelam. Tapi aku masih tak beranjak. Kini aku mempertanyakan perasaanku, juga perasaannya padaku selama ini. Semenjak sahabatku memutuskannya, besoknya dia langsung menyatakan perasaannya padaku. Memang selama mereka berpacaran, aku menjadi orang ketiga bagi mereka. Tapi perasaan yang terlalu cepat datang, akan cepat berakhir pula. Benar teori itu, entah siapa yang menciptakan. Ternyata aku hanya pelariannya. Dia masih mencintai sahabatku. Terbukti dari sikapnya yang selalu memperhatikan sahabatku, meski berkover benci. Diam – diam aku memahami.
Mungkin aku hanya bagian dari secuil kisah hidupnya. Aku hanya pengganggu. Aku pencuri kebahagiaan orang lain. Tapi salahkah sedikit saja ikut merasakan kebahagiaan. Keyakinanku semakin kuat, dia masih mencintai sahabatku. Dia semakin jarang berkomunikasi denganku.
“Beri aku kesempatan”, suara penyesalan yang kukenal.