credit to mizanstore.com |
Sudi tidak sudi, kau kupanggil Elang. Tentu aku tidak memanggilmu
secara nyata. Hanya pada tulisan dan angan saja. Pada kehidupan nyata, aku
hanya memanggil namamu seperti biasa. Berhubung ini adalah tulisan, maka kau
harus setuju aku panggil Elang.
Hai Elang. Mungkin kau bertanya mengapa aku dengan seenak diri
mengubah namamu. Pertama karena aku tidak ingin seorang pun tahu bahwa....
kepadamu aku menyimpan rasa. Mungkin ini aneh. Kebanyakan orang lain bahkan
sangat ingin perasaaannya diketahui agar bisa bersatu memadu kasih. Tapi aku
tidak ingin. Mungkin malu. Mungkin gengsi. Mungkin takut. Entah, aku tidak
ingin siapa pun tahu. Ini rahasia. Alasan kedua tentang elang, ini sangat
subjektif. Bagiku, kamu memang seperti elang. Bermata tajam dan berpendirian
kokoh. Burung elang memiliki kemampuan untuk terbang hingga ketinggian 10.000
kaki. Waw tinggi sekali ya. Iya, seperti keadaan itu aku sulit menggapaimu.
Apa kabar Elang? Aku selalu berharap kau baik saja. Meski aku hanya
bisa melihatmu dari kejauhan.
“Kuawali hariku dengan mendoakanmu agar kau
selalu sehat dan bahagia di sana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh. Sebelum
kau meninggalkanku lebih jauh” (Sheila On 7 – Pemuja Rahasia)
Kau mungkin bertanya mengapa bisa aku memilihmu untuk menetap rasa.
Aku saja tidak tahu jawabannya. Bukankah cinta itu anugerah? Tuhan sudah
menganugerahkan rasa itu padaku. Sebentuk anugerah rasa itu Tuhan alamatkan
padamu. Aku harap alasan ini cukup untuk menjawab pertanyaanmu.
Jika kau bertanya seberapa besar rasa yang aku genggam, apakah bisa
mengubah keadaan? Haha. Elang, aku menyimpan rasa itu sebesar aku berusaha
menutupinya pada siapa pun. Hingga surat ini kutulis, belum seorangpun tahu
tentang rasaku.
Elang, aku ingin saja seperti mereka yang mampu melebur bersama dalam
kehidupanmu. Berbagi tawa dan derita. Kita memang berada pada satu lingkaran.
Sayangnya lingkaran ini hanya menyamakan, bukan mendekatkan keadaan. Aku begitu
ciut melihat tawa lepasmu bersama teman – temanmu. Seolah pada tawa itu aku
tahu, kau cukup bahagia tanpa hadirku. Tidak membutuhkanku. Terlebih ketika aku
tahu kau dengan bangga memperkenalkan perempuanmu. Kau sukses membuat hatiku
remuk. Hancur berkeping hingga aku lupa untuk merekatnya kembali. Katanya, kau
berjuang berulang kali untuk mendapatkannya. Aku tersenyum saja mendengar
cerita perjuanganmu. Mungkin aku memang bukan perempuan yang pantas untuk kamu
perjuangkan. Sesekali aku tertawa, seolah merasa aku baik saja.
“Lelah berpura pura bersandiwara. Esok pagi kan seperti hari ini.
Menyisakan duri, menyisakan perih. Menyisakan sunyi...aaa...” (Efek Rumah Kaca – Si Pemalu).
Menyisakan duri, menyisakan perih. Menyisakan sunyi...aaa...” (Efek Rumah Kaca – Si Pemalu).
Jika memang kau bangga dan bahagia bersama peremuanmu, tak mengapa.
Mungkin sudah saatnya aku melepas rasa ini. Meski berat. Bagiku, mencintaimu
adalah rasa yang paling damai. Cinta ini tidak menggebu, obsesif ataupun
posesif. Mengalir halus dan terjadi setiap saat. Mencintaimu adalah nafas
bagiku. Jika nafas itu harus kusudahi, mungkin aku juga harus memulai hidup
baru dengan nafas berbeda. Tapi segera kabari aku jika kau selesai hubungan
dengan perempuanmu. Aku akan kembali pada nafas yang lama.
“Well,
I try to live without you. The tears fall from my eyes
I'm alone and I feel empty. God, I'm torn apart inside” (Miley Cyrus – Stay).
I'm alone and I feel empty. God, I'm torn apart inside” (Miley Cyrus – Stay).
PS : kau tidak perlu tahu siapa aku.
Tulisan ini diperuntukkan mengikuti lomba menulis surat cinta secret admirer yang diselenggarakan oleh Bentang Pustaka.