Menuju Puncak: Kawah Ijen (Part 2)
September 17, 2016
Siang menuju dini hari amatlah lama. Kami mencoba jalan – jalan di
sekitar Paltuding. Beberapa kilometer sebelum Kawah Ijen, ada Kawah Wurung yang
katanya menyerupai keindahan bukit di Selandia Baru. Bahkan kami baru tahu info
saat itu juga, kami melihat palang beloknya saat perjalanan menuju Paltuding.
Bisa dijadikan list wisata nih someday.
Sebelumnya juga kami sempat melihat air terjun hijau, dekat kawah ijen. Sayangnya
kalau jalan kaki hitungannya tidak dekat. Air terjun itu bisa hijau karena
belerang dan ganggang hijau. Perpaduan tersebut bisa menampilkan warna hijau
mengkilau, indah. Sayangnya kami tidak menuju sana. Untuk berjalan turun lagi
saya tak mampu. Waktu itu saya pusing berat, mungkin kurang tidur karena you know semalam hanya tidur beberapa
jam beralaskan kardus berbantal tas. Warung tempat kami makan menyediakan
penginapan. Namun kami merasa seratus ribu terlalu mahal untuk sekedar
istirahat siang dengan fasilitas yang seperti itu. Kami memilih tidur di warung
itu, pada kursi dan meja sajinya. Kami memeilih meja paling pojok menghadap
jendela. Lagi – lagi tidur sembarangan kan hehe.
Cukup lama kami tidur siang. Ketika bangun sudah masuk waktu sore. Lumayan
sekali, pusing di dahi saya hilang. Kami memutuskan stay di warung itu. Hari
mulai gelap. Lampu berenergi genset mulai dihidupkan. Seberang sana, lapangan
kosong yang memang digunankan sebagi bumi kemah mulai menghidupkan api unggun
mereka. Semakin malam, dingin terus menusuk tulang. Sampai pada titik saya bisa
menghembuskan uap air ketika meniup udara. Ala – ala titanic. Lagi – lagi, kami
tidur di warung itu. Menunggu dini hari lama sekali. Akhirnya pukul sebelas
malam kami bangun. Beberapa jam lagi pos pendakian akan dibuka. Ketika saya hendak beranjak menunggu di depan
pos, ternyata ada seseorang yang sepertinya saya kenal. Benar, dia Sandy, teman
semasa SMA. Teman di pesantren. Dia berempat, satu- satunya perempuan di sana.
Dia bukan tipikal perempuan tomboi yang berteman dengan laki – laki, hanya saja
Sandy bersama seorang laki – laki yang juga saya tahu. Meskipun laki – laki itu
tidak mengenali saya. Mauli, pacar Sandy. Dan dua orang laki – laki yang entah
teman dari Mauli atau Sandy. Sepertinya lebih mungkin teman dari pihak Mauli.
“Inun? Inun siapa? Anak Lasvizard ta? Apa Nesto?”
“Lasvizard lah”
Tipikal percakapan sepasang kekasih yang meskipun berdebat tetap saja
tersirat senyum di dalamnya. Tidak, saya tidak baper.
Mereka menawari mendaki bersama. Saya menawari pada partner. Mungkin
partner sungkan, jadinya saya menolak halus tawaran untuk mendaki bersama itu. Di
luar, dekat pos pendakian sudah ramai sekali. Apalagi depan toilet, suasana
dingin membuat sistem regulasi kita bekerja ekstra.
Saya sempat ngobrol dengan seorang ibu muda. Dia dari Bali, mendaki
bersama suaminya berdua (relationship goals banget gak si uwuw). Dia bercerita
ingin sekali menacapai puncak. Alasannya karena ketika di pendakian sebelumnya,
Gunung Agung Bali, dia tak sempat mencapai puncak.
“Padahal udah deket. Tapi ya adek saya tiba – tiba kakinya (kaki apa
perut ya? Lupa hehe) kram. Ya masak saya tinggal. Ya uda sampe segitu aja.”,
ucapnya dengan logat Balinya yang kentel.
Dia pun bertanya balik kepada
saya tentang pendakian ini. Kebetulan waktu itu saya sendiri, ibu itu juga
sendiri. Kami sama – sama menunggu partner hiking
yang lagi antri buang air. Dia begitu amaze
sama saya. Heran, perempuan cuman berdua kok nekat ke sini. Saya tertawa saja. Sampai
– sampai ketika suaminya datang dia bercerita bahwa saya hanya berdua dengan
teman perempuan, dari Surabaya!
Pos semakin ramai. Kami tak mau kalah start. Kami mengantre untuk
membeli tiket pendakian, harganya murah kalo ingatan saya gak salah sekitar
enam ribu rupiah. Sebaiknya memang kalo mendaki beli tiket dan pake jalur resmi
aja. Udah banyak tragedi pendaki yang pake jalur sendiri, eh endingnya... ~you know what I mean. Akhirnya petugas
mempersilahkan kami masuk, tiket passed. Pendakian dimulai yeay.
Baru di awal perjalanan, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari
Pare. Melihat kami hanya berdua, mereka menawari untuk mendaki bersama. Akhirnya
kami ikut saja. Mereka baik sekali. Tidak terlalu memkasakan. Rombongannya terdiri
dari beberapa laki – laki dan lebih banyak perempuannya. Entah mereka sangat
sabar menghadapi pendaki perempuan seperti kami. Biasanya cowok kan ogah
mendaki bareng cewek (meski gak semua sih) karena alasannya cewek bikin ribet,
dikit – dikit minta berhenti.
Sepanjang pendakian dini hari itu, bima sakti terlihat jelas. Indah sekali.
Langit tanpa polusi terlihat cantik. Dalam pendakian terkadang kita harus
minggir untuk memberi jalan bagi bapak – bapak penambang belerang. Kawah Ijen
memang penghasil belerang banget. That’s
why masker adalah bawaan wajib untuk Kawah Ijen, selain melawan dingin dan
debu juga untuk mengurangi bau belerang yang menusuk. Kalo kamu gak kuat
mendaki, ada jasa tarik troli dari bapak – bapak penambang. Kalo mendaki
biayanya 250 ribu, sedangkan kalo turun biayanya cukup 150 ribu. Tapi apa
esensi mendaki kalo kita tidak benar – benar mendaki ya hehe. Selama kaki kita
masih sehat, pake kaki aja deh.
Kami semakin dekat dengan puncak. Tapi kami harus memilih, blue fire
atau sunrise. Tidak bisa dua – duanya. Hanya pendaki handal yang bisa
menyaksikan blue fire dan sunrise. Masalahnya
adalah, untuk mencapai blue fire, harus turun entah berapa jaraknya itu menuju
sumber api. Blue fire aktif dari pukul 01. 00 sampai 05.00 WIB. Lalu, untuk
mengejar sunrise harus naik lagi menuju puncak Kawah Ijen. Turun ke blue
firenya aja jauh, apalagi naik, ditambah naik lagi ke puncak. Ah sudahlah. Sunrise
bisa dilihat di mana – mana. Tapi blue fire, cuma ada dua di dunia, Indonesia
dan Islandia. Maka kami tidak akan melewatkan kesempatan ini. Meski harus
sewa masker gas seharga lima puluh ribu per orang karena radiasi gas yang amat
kuat dari blue fire.
Turun ke blue fire masih ditemani oleh rombongan Pare. Harus hati –
hati juga turunnya, karena medannya amat curam. Sampailah kami. Saat itu, saya
seperti melihat cahaya biru menari. Indah sekali. Benar – benar hypnotized. Kami
terpisah dari rombongan Pare. Saya lihat langit masih gelap. Perkiraan saat itu
jam 4 dini hari. Saya ingin mencari rombongan Pare, sekedar pamit naik duluan
dan terimakasih atas bantuannya. Rombongan Pare tidak ditemukan, yasudahlah
biarkan mereka merasakan kebersamaan persahabatan. Kami memilih untuk naik
duluan karena saya sudah tidak kuat
dengan gasnya, selain baunya menusuk hidung juga membuat mata iritasi. Saya juga
harus sholat subuh. Langit terihat agak terang dari sebelumnya. Kami masih perjalanan
naik dari blue fire. Partner menyarankan saya untuk sholat di situ dulu, kami
minggir dari jalan duduk di sebuah batu. Yang bisa saya lakukan adalah,
bertayamum dan sholat duduk. Tidak ada air di situ, hanya batu, debu, belerang,
api.
Kelar saya sholat, kami istirahat sejenak di tempat itu. Kemudian disusul
beberapa pendaki juga istirahat di dekat kami. Tak lama setelah itu, ada
seorang pendaki lewat dan mengingatkan kami.
“Mbak, kalo mau istirahat jangan di situ. Soalnya nanti takut batunya
longsor dari atas”
Iya sih, tempat kami istirahat agak ekstrim. Akhirnya kami sudahi
istirahatnya, lanjut menuju puncak. Sampai
di atas, langit sudah pagi. Bau belerang semakin menusuk saja. Kami istirahat
sejenak. Lanjut lah kita sampai pada kawah yang diisi lautan belerang. Luar biasa.
Udah gitu aja? Ya.. then
kita turun. Berkemas. Kami balik ke warung tempat kami tidur kemarin. Barang –
barang kami titipkan di sana. Baik banget ibunya. Bahkan kami dipinjami tongkat
untuk mendaki. Sebenarnya tanpa tongkat bisa sih. Ya it’s okay lah menghargai bantuan orang. Buat gegaya juga keren kan.
Kawah Ijen worth to try buat
pendaki pemula (like me). Medannya
tidak terlalu sulit. Ketinggiannya mencapai 2799 mdpl. Lumayan kan. Kebetulan ketika
saya ke sana jumlah pendaki mencapai 4000 orang. Waw, maklum long weekend.
Sorry to say. Saat perjalanan pulang dari Banyuangi menuju Surabaya,
kami dilanda kabar duka. Salah satu keluarga Fakultas Psikologi UNAIR, pak
Udin, meninggal dunia. Innalillahi... Kami semua tahu, betapa Pak Udin adalah
sosok yang ramah senyum. Selamat jalan Pak Udin.
3 komentar
Ciee penulis
BalasHapusCiee penulis
BalasHapusAamiin hehe
HapusSilakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)