Potrè Mandî
Oktober 16, 2016
![]() |
ilustrasi oleh redaksi |
Tanganku
tegang memegang kemudi. Aku
berusaha mencari celah untuk menyalip kendaraan di depanku. Tapi sialnya jalan ini terlalu
sempit untuk daerah perbatasan. Aku
masih berada di Tanah Merah, Bangkalan. Masih jauh untuk menuju RSUD Sampang. Butuh sekitar satu setengah jam
lagi untuk menuju sana. Kabar tentang ayah masuk rumah sakit benar – benar
membuatku kalut.
Mungkin ini salahku yang lebih
memilih bekerja di Bangkalan. Aku
tak bisa berada di dekat ayah. Terutama
saat keadaan darurat seperti ini.
Padahal
aku lahir dan besar di kota Sampang.
Tapi
aku tak bisa berbuat lebih, ini
tuntutan dinas. Untungnya
ayahku merestui apapun keputusanku.
Tetap
saja, aku tak bisa memaafkan diriku jika
terjadi hal buruk pada ayah.
Hapeku berbunyi. Sebuah panggilan masuk. Kuambil hapeku yang terletak di
dashboard mobil. Dari ayah?
“Halo Yah?”
“Potrè mandî”
“Hah?”
Telepon terputus. Aneh. Apa
maksud ayah? Mengapa
tiba – tiba kata itu yang terucap?
Entahlah. Untungnya aku sudah memasuki kota Sampang. Baru saja aku melewati gapura
selamat datang di kota Sampang. Sebentar
lagi aku akan sampai di RSUD.
Aku memarkir cepat mobilku. Tak lupa kusambar hapeku. Segera aku menuju pusat informasi.
“Mbak, pasien dengan nama Khoirul Anwar
dirawat di kamar mana?”
“Di kamar anggrek 5A”, Resepsionisnya menjawab setelah
membolak – balik buku besar di hadapannya.
“Kamar
anggrek di sebelah mana, Mbak?”
“Dari sini Bapak lurus, terus belok kanan”
Sepanjang jalan menuju kamar anggrek
memang sepi. Lorongnya
hanya ada beberapa petugas yang bekerja.
Aku
mempercepat langkah. Bukan
karena takut dengan suasana rumah sakit malam. Tapi
lebih karena kekhawatiranku pada ayah.
“Krek”, kubuka pintunya perlahan.
Ayahku terbaring pulas di ranjang
kamar ini. Perlahan, kuhampiri ayah. Segera kuseret kursi agar bisa
duduk di hadapannya. Pandanganku
mendekat. Ayah, maaf selama ini aku meninggalkanmu. Padahal aku tahu ayah pasti
kesepian semenjak ibu meninggal.
Apalagi
hanya akulah putramu. Kuusap
kepalanya perlahan. Rambutnya
sudah banyak yang memutih. Mungkin
dulu, aku yang diusap kepalanya sebelum
tidur. Ayah, maaf
aku meninggalkanmu bukan tanpa alasan.
Ini
semua demi ayah.
***
Seseorang menepuk – nepuk pipiku. Aku terbangun kaget. Ternyata semalam aku tertidur. Ayah? Ayah
telah sadar.
“Ayah?”
“Sudah lama di sini?”
“Dari tadi malam Yah”
Aku tahu itu basa basi. Jelas – jelas aku di sampingnya
hingga tertidur. Ayah
mungkin merindukan saat – saat bersamaku.
“Dias”
“Iya Yah?”
“Ayah minta tolong
carikan potrè mandî”
Dahiku langsung berlipat. Ayah aneh. Permintaan yang sulit. Potrè mandî
adalah jajanan tradisional Madura yang terbuat dari beras ketan putih dan di
dalamnya berisi sesuatu, aku
lupa, yang jelas rasanya enak, manis, gurih juga. Bentuknya memang seperti putri yang
sedang mandi di bak mandi . Maka
dari itu disebut potrè mandî, yang
dalam bahasa Madura artinya putri mandi.
Ibu sering membelikanku potrè mandî
saat aku kecil dulu. Apalagi
di bulan ramadan, potrè mandî menjadi jajanan favorit untuk takjil. Tapi untuk sekarang? Mana mungkin? Melihatnya saja aku tidak pernah. Terakhir aku memakannya saat SMP. Bagaimana bisa aku mendapatkan
potrè mandî.
“Dias, ayah minta tolong sangat, tolong belikan ayah potrè mandî”
“Iya Yah, Dias berangkat sekarang”
Mampus! Akan kucari ke mana jajanan itu? Sepertinya, di pasar pun tak kan ada jajanan
macam itu. Harus
aku cari ke mana ini? Badanku
sudah siap di mobil. Tapi
pikranku melayang ke mana – mana.
Ah, adakah yang akan membantuku?
“Hari gini nyari potrè mandî di mana
ya?”
Iseng aku menulis status di akun facebookku. Siapa tahu ada yang membantu. Kunyalakan mesin mobil. Tujuan utamaku adalah pasar
tradisional terdekat. Entah
ada atau tidak, meski
mustahil, setidaknya
aku berusaha mencari. Aku
beralih dari lapak ke lapak. Hasilnya
tetap nihil. Tak
puas dari pasar ini, aku
beralih ke pasar lain. Untungnya
aku masih hafal betul jalanan kota kelahiranku ini.
Terhempas. Putus asa rasanya mencari sesuatu
yang nihil. Dari
tadi hanya menyeret langkah untuk hal yang sia – sia. Kembali aku berada di dalam mobil. Bingung. Harus ke mana lagi aku mencari potrè mandî. Hatiku
tergerak membuka hape.
Aku
teringat facebook. Ada yang mengomentari statusku.
“Datang saja ke sentra
jajanan pasar di dekat kantor polisi”
Mataku berbinar membaca komentarnya. Segera kutancap gas untuk
mendapatkan potrè mandî. Kuparkir
mobilku rapi tepat di depan sentra ini.
Akhirnya. Segera kubayar tanpa mempedulikan
uang kembalian. Tak
ada waktu. Aku
segera kembali ke RSUD. Ayah, aku dapat apa yang ayah inginkan.
“Krek”, Kubuka pintu kamar rawat ayah.
“Dias. Gimana, udah dapet?”, suara ayah lemas.
“Ada Yah”, Jawabku dengan senyum.
Aku membukakan bungkusan itu. Kusuapkan isinya untuk ayah. Beliau menikmatinya sangat dalam. Mungkin sangat merindukan rasanya. Itu adalah terakhir kalinya aku
berada di samping ayah. Setelah
menikmati potrè mandî itu, ayah
mengeluh pusing. Dokter
sempat memarahiku karena memberi sembarang makanan. Dokter bilang, pembuluh darah ayah pecah. Potrè
mandî mengandung kolesterol tinggi karena kandungan santannya. Ayah memang memiliki kendala dengan
kolesterol. Aku
merasa sangat bersalah. Tapi
takdir tak bisa dihalang. Jika
memang baktiku melalui potrè mandî,
semoga
ayah cukup bahagia dengan bakti terakhirku yang sama sekali tak cukup untuk
seluruh jasanya.
Terbit di Radar Madura (11 Agustus 2013)
0 komentar
Silakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)