Ibu Fatimah
Desember 07, 2016
“Kenapa ayah harus menyuruh aku ngaji
kalo ayah saja tak bisa”
“Ayah tidak ingin kamu seperti ayah”
“Harusnya ayah bisa mengaji baru boleh
menyuruhku”
“Fatimah, cepat berangkat mengaji. Tidak
baik melawan ayah”
![]() |
foto 20 finalis lomba selfie muslimah fair FKM UNAIR 2015 |
Ucapan Ibu
adalah penengah bagi perdebatan ayah – anak tersebut. Ibu bukan seorang yang
pemarah. Jauh dari itu, Ibu adalah penyayang dan penyabar yang luar biasa.
Ucapan Fatimah memang terdengar sebagai perlawanan seorang anak yang bisa
dibilang durhaka pada ayahnya. Tapi bagi Ibu, hal tersebut adalah wajar.
Fatimah masih kecil, dia mungkin belum mengerti tentang tujuan orang tuanya
menyuruh mengaji dan memperdalam Al – quran. Maklum, Fatimah masih berumur
tujuh tahun. Kelak jika sudah dewasa, dia akan menyadarinya. Begitu Ibu mencoba
bersabar dan berprasangka baik terhadap putrinya.
Ibu masih
mengintrol agar Fatimah benar – benar berangkat ke surau dekat rumahnya. Dia
tidak ingin Fatimah berbohong dengan berdalih sudah mengaji padahal tidak
berada di surau. Jarak rumah dan surau hanya
tiga meter. Dari pintu rumah, bisa terlihat jika Fatimah tidak berangkat
ke surau. Magrib itu Fatimah menyalimi tangan ibunya dengan muka masam. Ibu tak
peduli. Dia tak ingin putrinya menjadi manja dengan menuruti semua
perlawanannya.
Ditatapi langkah
– langkah terseret dari kaki mungil Fatimah. Mulutnya bersyukur bisik – bisik
mendapati Fatimah benar – benar sampai di surau. Dalam hatinya, Ibu berdoa agar
putrinya bisa membaca Al – quran dengan baik dan benar. Agar Fatimah bisa
menjadi muslimah seutuhnya. Langkah yang ditujukan pada Fatimah semata – mata
untuk kebaikan putri semata wayangnya. Sebagai bukti cintanya dari seorang ibu
untuk anak. Cinta yang dilandaskan pada Allah, demi ridhaNya.
“Fatimah sudah benar sampai surau?”
Ayah langsung
memburu Ibu pertanyaan ketika kembali masuk rumah. Hanya anggukan dan senyuman
sebagai jawaban “iya” dari Ibu. Ayah kembali pada bacaan Al – qurannya. Begitu
pula Ibu. Sesekali Ibu berhenti dari bacaannya dan membenarkan bacaan Ayah yang
kurang tepat. Entah bagaimana Ibu bisa membagi dua fokus pada bacaannya dan
bacaan Ayah. Itu kebiasaan keluarga ini
setiap selepas sholat magrib.
Magrib di
keluarga ini memang beda dari lainnya. Jika keluarga lainnya menjadikan bapak
sebagai imam, namun di sini tidak. Setiap magrib Ayah akan berjamaah di masjid.
Sedangkan Ibu berjamaah dengan Fatimah. Ibu yang menjadi imam bagi Fatimah.
Bahkan hampir di setiap waktu sholat seperti itu. Fatimah hanya diimami oleh
ibunya. Pernah sekali Fatimah berjamaah pada Ayah. Sayangnya, setelah salam dia
ditegur oleh ibunya.
“Kalau mau berjamaah, dilihat dulu
imamnya. Apakah sudah betul bacaannya”
“Memangnya Ibu sudah betul
bacaannya?”
Ibu selalu
hampir kehabisan kata – kata menghadapi tingkah Fatimah. Ada saja jawaban dari
putrinya tersebut. Satu – satunya hal yang bisa dilakukan adalah mengusap
kepalanya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Memberi pengertian pada Fatimah
bahwa sholat adalah ibadah yang penting dalam Islam. Sholat akan lebih utama
jika dilakukan secara berjamaah. Namun, kita harus pandai menyeleksi siapa
imamnya. Sudah baikkah bacaanya. Minimal untuk bacaan Al – Fatihah.
Fatimah, sebagaimana anak kecil pada umumnya,
selalu saja tak puas dengan jawaban yang tidak sesuai dengan pikirannya. Dia
masih diam menimang – nimang jawaban ibunya. Lantas, haruskah dia sholat lagi
jika memang imamnya belum tepat bacaannya? Bagaimana dengan orang yang memang
belum lancar membaca Al – quran, sementara hampir seluruh bacaan sholat
bersumber dari kitab suci itu. Kasian sekali mereka, tidak pernah berkesempatan
menjadi imam. Seperti ayahnya.
“Trus, kenapa dulu Ibu menikah
dengan Ayah kalau memang belum benar bacaan Al – qurannya?”
Ibu benar –
benar terkejut. Pertanyaan tersebut memang mengejutkan. Tapi yang lebih
mengejutkan adalah pertanyaan tersebut dilontarkan oleh putrinya yang masih
berusia tujuh tahun. Ibu sadar suatu saat Fatimah akan mempertanyakan alasannya
menikahi Ayah. Perkiraanya, pertanyaan itu akan hadir menjelang Fatimah
menikah. Tapi kenyataannya, Fatimah mempertanyakan hal tersebut pada usia tujuh
tahun. Ibu bingung apakah tujuh tahun adalah usia yang tepat untuk menjelaskan
pernikahan.
“Kamu yakin akan menerima
lamarannya?”
“Saya sudah sholat istikharah, dan
mantap Abi”
“Abi tidak akan memaksa, kamu yang
akan menjalani hidupmu bersama laki – laki itu. Tapi Abi lihat, hidupnya
seperti hanya bermain – main dan bersenang – senang”
“Semua orang berhak berubah Abi.
Saya melihat kesungguhan dalam dirinya. Sepertinya dia mau bertaubat”
“Abi merestui apa pun yang sudah
kamu pilih melalui istikharah. Tapi konsekuensinya, kamu harus bersabar dalam
membimbingnya mempelajari Islam lebih dalam, terutama bacaan Al – quran”
“Iya Abi, salah satu jalan dakwah
adalah dengan menikah. Dan tidak harus selalu laki – laki yang membimbing”
Malam itu Ibu
melewati pembicaraan masalah lamaran Ayah. Abi adalah orang tua laki – laki
dari Ibu. Seorang laki – laki dengan gaya yang menjadi tren pada masa itu
datang melamar Ibu. Padahal sebelum – sebelumnya laki – laki yang melamar Ibu
adalah berbaju koko, berpeci, dan bersarung. Rata – rata adalah penghafal Al –
quran dan beberapa kitab berbahasa Arab gundul. Abi adalah salah satu ustad di
sebuah pesantren dekat rumahnya.
Keyakinan Ibu
tidak serta merta terjadi begitu saja. Ibu melewatkan satu minggu istikharah beserta
beberapa amalan untuk memantapkan pilihan sakral itu. Memang ini di luar
kebiasaan. Sementara saudari yang lain memperoleh calon imam yang agamis. Jika
memang ini yang terbaik, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Abi sedikit
menyinggung dalil Al – quran pada surat An – Nur ayat 26. Perempuan yang baik
untuk laki – laki yang baik. Laik – laki yang baik untuk perempuan yang baik.
Begitu penggalan terjemahan ayat tersebut. Ibu sadar, baik yang dimaksud Abi
adalah agamanya, ibadahnya, dan aspek religiusitas lain. Tapi tetap Ibu
mempertahankan pilihannya, bahwa baik menurut manusia belum tentu sama menurut
Allah. Begitu pun sebaliknya. Jika laki – laki itu adalah baik menurut Allah,
maka tak ada alasan untuk mendengarkan kata orang lain bahwa dia tak baik.
Menikah adalah
ibadah yang menyempurnakan separuh agama. Menikah adalah sunah Rasul. Menikah
juga merupakan salah satu jalan dakwah, seperti yang dicontohkan oleh para wali
ketika menginjak tanah Indonesia. Menyebarkan Islam melalui perdagangan, seni,
dan pernikahan. Tidak ada salahnya jika Ibu menerima lamaran laki – laki itu.
Laki – laki yang kelak akan menjadi ayah bagi keturunannya.
Satu tahun
pernikahan itu berlalu. Ibu masih dengan sabar membimbing laki – laki yang
sudah resmi dan sah menjadi suaminya, tapi bukan imamnya. Ibu masih ragu untuk
berjamaah dengan suaminya. Dia sadar betul, bacaan suaminya masih kurang tepat
panjang pendeknya, masih pula terbata – bata. Tapi di luar sholat, Ibu terus
membimbingnya. Meski tak tahu entah sampai kapan suaminya bisa benar – benar
tepat bacaan Al – qurannya.
Satu tahun itu
pula, mereka dikaruniai satu anak perempuan. Ibu benar – benar bahagia. Bahagia
atas kelahiran putrinya, juga karena suaminya yang selalu menemani bahkan saat
persalinan. Ketika bayi itu hadir, laki – laki itu menyarakan azan di telinga
kanan dan iqomah di telinga kiri. Belipatlah kebahagiaan Ibu. Selain atas
kelahiran putrinya, dia melihat secara langsung untuk pertama kali suaminya
azan dan iqomah.
Putrinya tersebut diberi nama Fatimah. Nama
yang terinspirasi dari putri Rasul. Karena nama adalah doa, maka harapannya
Fatimah menjadi sosok yang cerdas dan tegas seperti teladannya. Fatimah tumbuh menjadi anak yang lincah dan
aktif. Dia sering melemparkan pertanyaan – pertanyaan kritis yang bahkan
melebihi anak seusianya. Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Fatimah suka
sekali bermain. Tapi Ibu tidak serta merta membebaskan anaknya liar. Ibu tetap
mengizinkan anaknya bermain, namun tetap memperhatikan waktu makan, sholat,
mengaji, belajar, dan istirahat.
Dipandangi lekat
– lekat putrinya yang sudah berada pada usia tujuh tahun. Usianya memang tujuh,
tapi Ibu sudah bersamanya sejak dalam kandungan. Benar – benar terasa detak
jantungnya ketika masih dalam kandungan. Ikatan batin yang terbentuk membuat
Ibu memiliki kasih yang kata pepatah sepanjang masa. Ingatannya tentang
pernikahan dengan Ayah sudah buyar. Lukisan nyata wajah Fatimah lah yang
sekarang tampak di hadapannya. Mungkin bukan waktu yang tepat menceritakan
sebuah pernikahan pada anak usia tujuh tahun.
“Karena Ibu mencintai Allah, Ayah,
dan Fatimah”
Pada akhirnya
jawaban itu yang muncul dari mulut Ibu setelah sekian menit ingatannya kembali
pada masa lalu. Tak mungkin Ibu menjelaskan dengan detail bagaimana prosesnya.
Biarlah seiring waktu Fatimah akan mengerti, sambil perlahan Ibu menjelaskan
pelan – pelan. Semua akan tiba waktunya, saat yang tepat.
Hari ini wisuda
bagi Fatimah. Bukan wisuda sekolah ataupun kuliah. Usianya baru menginjak tujuh
belas tahun. Dia masih sekolah di SMA, kelas sebelas. Ini wisuda yang ketiga
bagi Fatimah karena telah menghafal separuh Al – quran. Di rumah tahfidz
tempatnya menghafal Al – quran wisuda dilakukan minimal hafal lima juz. Ini
sungguh di luar dugaan. Betapa Fatimah bahagia. Apalagi orang tuanya, tentu
saja bangga. Hasil tempaan sejak dini sudah dituai hasilnya.
Ini memang bukan
akhir. Justru masih awal. Perjalanan masih panjang untuk melanjutkan perjuangan
untuk menggenapkan hafalan. Bagaimana pun, Fatimah tetap harus berterima kasih
kepada kedua orang tuanya yang tulus. Tak bisa dibayar oleh apa pun. Malah
Fatimah yang sering bandel masa kecilnya ketika disuruh beraangkat mengaji.
Beribu terima kasih dan syukur dia haturkan kepada orang tuanya. Kalau saja Fatimah
tidak terlahir dari keluarga ini, entah bagaimana jadinya. Kalau saja ibunya
bukan Ibu, entah apakah dia benar – benar sampai pada separuh Al – quran.
“Semoga Aku pun bisa menjadi ibu
yang hebat dalam mendidik anak – anakku kelak. Seperti Ibu”, doa penutup di
hari wisuda Fatima, diucapkannya dalam hati.
-Juara sepuluh
besar Muslimah Fair FKM UNAIR 2015-
0 komentar
Silakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)