Time Capsule: Refleksi 2016
Januari 01, 2017
Sebelumnya,
saya ingin memberitahukan bahwa tulisan ini sangat personal. Jika tidak ingin
membaca, silahkan tutup. Jika berkenan untuk membaca, monggo – nyatoreh.
time capsule sebelum diisi harapan. cr. skipsi |
Assalamualaikum
diriku di penghujung tahun 2016~
Mungkin sebagian teman saya tidak asing dengan kalimat di atas. Ya,
kalimat itu adalah salam pembuka untuk time capsule. Apa itu? Time capsule
adalah sesi khusus yang terletak pada akhir acara LMT (Leadership Managerial
Training) SKI Psikologi UNAIR. Dari time capsule itu kami menuliskan harapan –
harapan atau target tertentu yang ingin kita capai selama 2016. Harapan
tersebut dituliskan dalam media kertas, kemudian dilipat dan dimasukkan ke
dalam sebuah toples bernama time capsule. Semua orang kala itu, sama – sama menuliskan
harapannya. Baik peserta maupun panitia. Kebetulan saat itu saya menjadi salah
satu panitinya. Baperlah saya dengan audio yang disurakan dengan apik oleh
salah satu teman panitia. LMT memang diadakan pada awal tahun 2016. Kemudian,
untuk mengetahui sejauh mana realisasinya, time capsule dibuka pada akhir
tahun. Tepatnya, saat muktamar SKI Psikologi UNAIR hari Minggu, 18 Desember
2016. Sayangnya, waktu itu saya berhalangan hadir muktamar karena sedang
terbaring di rumah sakit.
Sepulang dari rumah sakit, saya diberikan kertas merah muda oleh teman
saya. Ya, kertas itu adalah time capsule milik saya. Sungguh, saya masih ingat
bagaimana saya menulisnya. Jadi ketika menerima kertas itu, memori saya
menampilkan sosok perempuan beralmamater duduk di lantai dan menulis harapannya
di tahun 2016. Time flies. Entah
sejauh mana saya merealisasikan harapan – harapan itu. Saya ingat betul, ada
tiga hal yang tertulis. Iya, hanya tiga hal. Tidak banyak.
![]() |
warna kertasnya merah jambu. kena efek blur jadi putih :D |
Hal pertama adalah move on! Ini benar, saya menulisnya dengan tanda
seru. Ya, tidak bisa dipungkiri memang hal tentang rasa menjadi problematika
anak muda. Bentuknya memang tak terlihat, namun tentu saja rumit untuk dijelaskan.
Harus saya akui, dia memang masih menjadi bayangan. Susah sekali untuk pergi. Saya
pikir dengan mengetahui bahwa dia sudah bersama orang lain, akan membuat saya
bisa menghilangkan rasa. Atau setidaknya, menetralkan rasa. Tapi ternyata
tidak. Entah ini rasa jenis apa. Apakah sekedar suka, sayang, cinta, atau
obsesi belaka. Saya sudah mencoba. Tapi ternyata yang saya lakukan hanya
mengabaikan bayangannya. Seolah saya selalu mengusir dengan cepat ketika
bayangan itu hadir. Ketika saya sudah tidak ada lagi daya untuk mengusir, maka
bayangan itu seperti segera masuk dan menguasai diri ini. Ini aneh. Terlalu panjang
untuk sebuah kebodohan.
Saya sadar sepenuhnya, ini gila. Maka, cara terbaik adalah memang
membiarkan bayangan itu tetap ada. Tidak perlu saya usir atau abaikan. Saya biarkan
bayangan itu berada dalam diri. Namun tidak untuk menguasai. Saya sendiri yang
punya kendali atas diri. Bayangan itu, saya lukiskan dalam bentuk siluet yang
kemudian disimpan di dalam sebuah ruangan tak bercahaya. Ruangan itu sudah saya
kunci rapat – rapat. Kuncinya, saya simpan sendiri. Jika suatu saat pemilik
bayangan itu berkenan hadir, maka dengan senang hati saya akan membuka kunci
ruangan itu. Lebih – lebih, memberinya cahaya dan membuat lukisannya berwarna. Silahkan,
itupun jika dia berkenan datang. Sampai di sini, saya belum tahu apakah harapan
pertama sudah tercapai. Saya rasa, ini adalah cara terbaik.
Harapan pertama memang gila. Sampai – sampai membuat saya lupa bahwa,
ada cinta sejati yang lebih utama: Tuhan. Tentang janji – janji saya pada Allah untuk
menyisihkan waktu di setiap sepertiga malam, menambah ibadah amalan, dan bualan
lain. Sayang sekali, saya terlalu pandai berjanji, tapi terlalu bodoh untuk
menepati. Jangankan bangun untuk sepertiga malam, terkadang pun waktu wajib
untuk beribadah saya lewatkan begitu saja. Terlalu banyak. Saya rasa, 2016 ini
semakin saya sering skip beribadah. Semakin saya jarang menyentuh kitab suci. Memang
pada harapan kedua ini saya menuliskan tentang janji kepada Tuhan. Janji untuk
lebih baik.
Hebatnya Allah memang Maha Cinta. Rahman RahimNya tak berhenti
mengalir sekalipun saya sering lalai. Sekalipun saya hanya hadir padaNya saat
menemui masalah pelik. Seakan Tuhan hanyalah tempat pelampiasan masalah
duniawi. Tapi memang tempat terbaik untuk berkeluh kesah adalah Allah. Bersujud,
menangis, dan mencurahkan segala rasa padaNya adalah healing terbaik. Saya sendiri jarang berkeluh kesah pada manusia.
Yah, tidak seorang yang bisa dipercaya bahkan orang terdekatmu. Maka memang
saya hanya percaya Allah, Sang Maha Penutup Aib, sebaik- baik penyimpan rahasia,
serta sebaik – baik pengabul harapan. Saya memang bukan orang dengan tingkat
religiusitas tinggi. Tapi saya mencintai Tuhan, dan punya cara sendiri dalam
mencintai. Urusan itu, hanya saya dan Allah yang tahu. Saya mungkin akan
menorehkan dosa, tapi semoga tidak berhenti meminta ampunannya. Pun semoga
Allah senantiasa mengampuni dosa – dosaku. Harapan kedua, entah hingga saat ini
apakah sudah terwujud. Saya masih terus berusaha, meski sering alpa.
Masih ada harapan ketiga. Harapan yang mainstream bagi orang yang sedang berjuang menuntut ilmu. Belajar lebih
baik. Tentang pencapaian akademis. Bukan hanya sekedar belajar untuk sekarang. Tapi
belajar untuk selamanya. Bukan hanya belajar untuk memenuhi transkip nilai. Tapi
belajar untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain, sekurang – kurangnya diri
sendiri. Adalah belajar yang sungguh – sungguh. Belajar yang benar – benar memberi
penghormatan penuh pada ilmu. Taklimul mutaalim. Sementara realisasinya... saya
rasa masih belum berhasil. Sejauh ini saya merasa belum mendapatkan apa – apa. Seperti
tidak tahu apa yang saya lakukan dengan duduk dalam kelas sembari mendengarkan
ceramah dosen. Entah. Kosong. Mungkin memang saya terlalu bodoh untuk mengerti.
Tapi, mau tidak mau saya harus terus berusaha. Hidup memang butuh ilmu.
Ketiga harapan tersebut... masih ada harapan – harapan lain yang
terselip. Harapan tentang menulis. Harapan tentang birrul walidain. Harapan akan
husnul khotimah.
Semoga.. setiap harapan menemukan aminnya. Semoga Allah mengijabahi
setiapa harapan yang sampai saat ini masih berproses dan berlanjut. Harapan itu
tidak akan berhenti. Karena memang harapan tersebut selalu ada, hanya perlu
aksi untuk realisasi.
Lanjutkan merealisasikan harapan di 2017, yuk :)
Selamat Tahun Baru 2017.
0 komentar
Silakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)