Pagi itu, mobilitas kota masih belum hidup. Terlalu pagi untuk memulai hari, kecuali bagi anak sekolah yang harus menempuh jarak kilometer menuju tempat belajarnya. Kami bergegas menuju pelabuhan. Perahu yang akan mengantarkan kami ke pulau kecil di selatan pulau Madura, sudah hampir penuh. Kalau boleh kegeeran, perahu itu memang sengaja menunggu kami. Meski nyatanya tentu saja tidak, perahu itu butuh rupiah lebih dengan menunggu sebentar, ketika melihat kami begitu bergegas saat sampai di pelabuhan. Namanya pelabuhan Tanglok, di kabupaten Sampang, Madura.
Semua penumpang bersiap, perahu pun melaju perlahan. Kami masih berada pada area muara, air masih belum terlihat biru. Namun, kami dibuat senyap dengan pemandangan mentari yang memaparkan pesona mistisnya.
![]() |
semburat sinar mentari |
Memikirkan kami sudah duduk di atas perahu, seperti sebuah keajaiban. Semalam kami masih berkelakar soal perlu tidaknya menuju pulau Mandangin. Kepentingannya adalah untuk ambil data kuesioner skripsi salah satu senior saya. Jadi formasi kami adalah, saya, Mbak Ira (si punya hajat skripsi), dan 2 teman laki-laki yaitu Mas Taufik dan Mas Lantip. Ketiganya senior saya. Kalo diceritain masalah skripsinya, ribet dan bikin pusing. Cerita tentang pulau Mandanginnya aja lah. Sampai akhirnya kami bangun pagi dan menyempatkan sarapan lalu bergegas menuju pelabuhan.
4 Mei 2018
Matahari sudah bersinar cerah ketika kami sampai di area laut. Di tengah-tengan perjalanan, deru ombak menyapa. Seolah menyambut kami
yang akan menuju pulau kecil itu. Namun, kenyataannya tidak sesyahdu itu.
Di manapun, serangan ombak ya bikin mual. Minimal membuat pandangan
mata kita agak terganggu karena kapal goyang, kapten! Yang heran adalah
melihat penduduk lokal, mereka santai sekali menghadapi ombak. Tiduran
santai kayak lagi di hammock. Ya maklum, sudah terbiasa.
![]() |
Ombak? Dibawa tidur aja |
Begitu sampai di dermaga, kami menuju rumah warga. Tidak ada penginapan di sini. Kami menginap di rumah warga. Saya dan Mbak Ira menginap di rumah sekretaris klebun (lurah). Tim mas-mas menginap di rumah warga tempat dulu Mas Taufik KKN di pulau Mandangin. Dan kami, ketika di rumah Bu Farid si sekretaris lurah, diberi sajian welcome meal.
![]() |
campur |
Nama makanannya campur, komposisinya seperti lontong mie. Hanya saja bumbunya yang berbeda, dan menghasilkan rasa yang berbeda pula. Sembari santap, kami mengutarakan tujuan kedatangan ke pulau ini. Bu Farid benar-benar membantu banyak.
Sorenya, Bu Farid mengajak kami jalan-jalan ke pantai timur. Di pantai timur, kita bisa menikmati sunset yang untungnya masih bisa terkejar momen sunsetnya.
![]() |
see u sun! |
![]() |
Tim Skripsi Bisa! |
Angin sore. Perahu nelayan parkir. Pasir. Laut. Segalanya tentang pantai. Pulau ini benar-benar kecil, untuk menuju pantai timur cukup dekat dari rumah Bu Farid. Pantai satunya adalah pantai barat, yang lebih cocok dikunjungi untuk melihat sunrise. Kami menyisakan pantai barat untuk besok pagi-pagi betul.
5 Mei 2018
Sesuai janji Bu Farid kemarin, beliau meminjakan motor untuk kami menuju pantai barat yang agak jauh dari kediaman beliau. Setelah subuh kami berangkat menuju pantai barat. Sampai di sebuah tanah lapang luas, kami memarkirkan motor di sana. Dan pagi itu, mentari yang kemarin sore pulang ke peraduan, kembali menyapa bumi.
![]() |
Pantai Barat pulau Mandangin |
![]() |
Hello again Mr. Sun :) |
Kalo ditanya apakah beneran indah? Iya, seriusan indah. Sayangnya, ya gitu. Tidak ada penginapan, akses perahu terbatas (cuma jam 6 dan jam 10 pagi), dan tempat makan gak begitu banyak meskipun ada. Yah, saya mendapat cerita dari Mas Taufik katanya penduduk bertekad menjadikan pulau Mandangin sebagai destinasi wisata. Yah.. bisa sih.. tapi banyak PR di mana-mana. Fasilitas vital pariswisata perlu ada, sayangnya mimpi tanpa usaha realisasi sih bualan belaka namanya. Tidak menutup kemungkinan untuk nanti direalisasikan, yah semoga beneran bisa (kalo memang mau).
Tambahan, pulau ini juga mengalami masalah serius soal sampah. Pasalnya, di dermaga maupun pantai barat bener-bener sampah berserakan dan dibiarkan begitu saja. Parahnya, penduduk bilang sampah itu untuk menahan abrasi, katanya. Gak masuk di logika saya, setahu saya untuk menahan abrasi ya pake pohon bakau. Sampah, setahu saya, adalah musuh bagi lingkungan dan kelestarian alam. Entah jika memang ada pendapat lain yang menyatakan bahwa sampah bisa menahan atau mencegah abrasi, saya sungguh tidak tahu.
![]() |
ada sampah di balik batu |
![]() |
parah |
Level sampahnya bahkan sampai menemukan baju atau popok bayi. Sudah semacam tempat pembuangan akhir saja. Tapi kalo dipikir-pikir, ya memang mungkin mereka tidak ada wadah pengelolaan atau pembuangan sampah. Mau dibuang ke mana lagi, kalo sekeliling isinya laut. Mungkin begitu, pikir mereka.
Bagaimanapun, tempat ini indah dengan pesonanya sendiri. Saya tidak tahu bagaimana jika harus mempromosikan untuk tujuan wisata, mungkin belum berani. Kecuali kalau memang benar-benar ada kepentingan, mau melakukan penelitian, atau edukasi misalnya. Ya silahkan. Ini tempat yang hangat, di mana para penduduk akan menyambutmu. Hanya saja harus bisa bertahan dengan air asin, alias mandi dan urusan sanitasi dengan air asin. Iya, air di sana asin. Kecuali kamu suka wisata penuh tantangan dan kejutan, silahkan menuju ke pulau ini. Bisa menginap di rumah warga atau mendirikan tenda di dekat pantai barat yang ada tanah lapangnya.
Ya beginilah pulau Mandangin yang nama lainnya adalah pulau Kambing. Disebut pulau kambing karena di pulau ini memang banyak kambing. Setiap perjalananmu hampir bisa dipastikan kamu akan bertemu kambing. Kalo di Jawa orang rumah mengusir kucing atau anjing liar, ini malah rumah mengusir kambing. Ini dia beberapa foto kambing yang berhasil saya tangkap.
Dan akhir dari perskripsian Mandangin ini adalah traktiran dari Mbak Ira di Kampoeng Steak beberapa hari lalu. Lumayanlah, meskipun waktu di Mandangin kami memalaknya untuk makan-makan di Cocari.
![]() |
Mas Taufik. Mas Lantip. Saya. Mbak Ira. |
Sungkem.
Keep Passionately Happy :)