Kita tidak akan pernah menjadi manusia, jika untuk menghargai perasaan orang lain saja tidak bisa.
Entah untuk perasaan senang atau sedih, semua perasaan layak dihargai.
Atau
Entah untuk perasaan senang atau sedih, semua perasaan layak dihargai.
"Aku seneng deh, tadi abis ketemu sama temen SMA"
"Ya elah, biasa aja kali. Aku juga tiap bulan rutin ketemu sama temen SMA. Solid kita"
Atau
"Stres banget nih, tugas numpuk"
"Ya elah, tinggal dikerjain doang. Aku aja bisa"
"Seneng deh, kemarin abis liburan ke Bali"
"Ya elah Bali doang, biasa banget. Gue udah ke mana-mana"
"Aku sedih, belum bisa move on dari dia"
"Gitu doang lemah, sadar woi! Dia ga ngasih kamu makan. Aku aja bisa move on seminggu."
![]() |
Manusia (sumber) |
Hal yang paling menyedihkan adalah, selain tidak ada tempat untuk meluapkan kesedihan kita, juga apabila tidak ada tempat untuk berbagi kebahagiaan. Bayangkan kamu sedang dalam keadaan bahagia, perasaan itu meluap-luap hingga akan tumpah. Begitu pula sebaliknya, jika mengalami luapan perasaan sedih. Kamu perlu wadah untuk menahan tumpahannya. Sayangnya, wadah itu menolak, dia tidak ingin menerima tumpahanmu. Sebenarnya ini amat sederhana, kita hanya perlu menemukan wadah yang tepat dan mau untuk menampung luapan perasaan kita. Sayangnya, dalam bentuk manusia, itu tak pernah mudah.
Mungkin, jika belum bisa menemukan manusia untuk menjadi wadah, baiknya jadilah wadah itu. Tak apa, jika dia berlaku sebaliknya. Toh semesta selalu memperlakukan manusia untuk bertemu dengan manusia yang satu frekuensi. Dengan menjadi manusia yang 'ramah wadah', bisa jadi akan menularkan 'keramahwadahan' kita pada lingkaran pertemanan. Pun, akan selalu ada cara semesta mempertemukan manusia 'ramah wadah' dengan manusia satu spesies 'ramah wadah'.
Jika kita tetap egois untuk memperlakukan atau menanggapi manusia atas dasar sudut pandang kita saja, balik lagi baca judul, kita tidak akan pernah menjadi manusia. Setiap manusia itu berbeda, masing-masingnya unik. Setiap dari kita punya ukuran sepatu yang berbeda, kita tidak bisa memaksakan sepatu kita dipakai oleh orang lain yang berbeda ukuran. Kita tidak pernah tahu, pada batas mana kesabaran atau kekecewaan manusia. Bisa jadi, ucapanmu sudah menembus batas sabar atau batas kecewanya. Kita tidak pernah tahu, meski dia diam, atau bahkan tersenyum di hadapanmu.
Modal dasar menjadi manusia adalah simpati-empati. Jika untuk ikut menghargai perasaan orang lain saja tidak bisa, lantas apa? Memaksa orang lain untuk tidak sakit hati, tidak baper atas perkataan atau perbuatanmu? Lalu sebaliknya, jika orang lain menembus batas kesabaranmu, apa yang terjadi? Kau marah? Egois!
Sekali lagi, kita tidak pernah tahu batas kesabaran seseorang. Ibaratnya imun tubuh, ada seseorang yang bisa tetap sehat dihadapkan pada cuaca dingin. Ada pula seseorang yang langsung flu begitu berhadapan dengan cuaca dingin. Siapa yang salah? Menyalahkan cuaca? Menyalahkan orang itu karena tinggal di tempat dingin? Atau menyalahkan orang itu karena lemah dan sakit-sakitan? Tidak ada yang salah, tentu. Apalagi jika harus menyalahkan orang itu karena tak mampu sekuat dirimu. Tubuhnya hanya tidak mampu menghadapi serangan cuaca dingin. Itu saja. Dia tidak bisa melawan takdirnya, yang bisa dia lakukan adalah menghangatkan dirinya, dengan cara apa pun. Dan kamu, yang menghujatnya, adalah virus dalam bentuk manusia yang akan membuat sakitnya semakin parah.
Kita tidak akan pernah menjadi manusia, jika tidak bisa menghargai perasaan orang lain. Kita tidak akan pernah menjadi manusia, jika masih merasa paling benar. Kita tidak akan menjadi manusia, jika masih menganggap orang lain harus mengikuti cara kita. Kita tidak akan pernah menjadi manusia. Tidak akan pernah.
Mulailah melihat manusia secara keseluruhan. Dengarkan tanpa sela. Perhatikan tanpa hakiman. Perlakukan manusia dengan keadilan.
Atau kita memang tidak pernah berminat menjadi manusia?