How Is It Like To Be In Toxic Relationship?
Januari 13, 2020
Saya tidak pernah menyadari ketika
menjalaninya, bahwa hubungan tersebut beracun. Saya baru ngeh dan
menyadari bahwa apa yang saya jalani adalah sebuah toxic relationship
ketika hubungan itu telah benar-benar selesai.
Lagipula, beberapa tahun lalu pembahasan mengenai toxic relationship
masih belum hits seperti sekarang. Sepertinya pembahasan tenatang toxic
relationship baru santer dibahas sejak
tahun 2017, kalau tidak salah sih.
Bersama |
Well, izinkan saya menceritakan
dan mencoba mengingat apa yang terjadi di masa lalu tentang toxic
relationship yang saya alami. Saya tidak akan menyebut jenis hubungannya,
entah itu pasangan, teman, sahabat, rekan kerja, keluarga, atau jenis hubungan
lainnya. Saya buat ini tertulis secara umum saja. Yang pasti, ini hubungan
antara dua manusia. Pun saya tidak ingin menyebut identitas maupun gender yang
bersangkutan. Biarlah ini mengalir apa adanya.
Dia juga punya hak untuk privasinya.
Pernah nonton film Posesif? Saya pernah
menonton dan menulis ulasannya di sini. Saat nonton film itu, saya merasa relate.
Saya merasa itu seperti cerita yang saya alami. Tapi, entah mengapa saya merasa
menjadi Yudis. Meski ada kalanya saya juga merasa menjadi Lala. Entahlah. Bukan
itu intinya, tapi.. kalimat ‘ajaib’ ini yang membuat pikiran saya terkunci:
“kalau
bukan sama aku, siapa lagi yang mau sama kamu?”
![]() |
Film Posesif |
Persis seperti apa yang diucapkan Yudis
kepada Lala, dengan versi yang berbeda: “Cuma gue yang peduli sama Lo, La.
Cuma gue yang sayang sama Lo. Bokap Lo gak pernah peduli sama Lo”
Lagi-lagi saya terngiang dengan
kalimatnya,
“Siapa lagi yang mau sama kamu?”
atau
“Gak ada yang mau sama aku. Cuma kamu
yang betah”
Kalimat itu terus terngiang di kepala
saya. Seolah menjadi mantra yang kemudian saya percayai. Anehnya, kami
sama-sama mengucapkan hal itu. ini bukan ucapan sepihak. Saya sering
mengucapkan hal itu padanya dan begitu pula sebaliknya. Saya kira dulu kalimat
itu merupakan kalimat yang wajar bagi dua orang yang menjalin hubungan
dekat. Saya kira itu semacam pernyataan
bahwa, memang kami orang yang setipe bernasib sama dan ditakdirkan untuk
bersama. Bodohnya, saya pun mengira hubungan itu akan terjalin selamanya. Untungnya
tidak.
Belajar melepaskan dirinya. Walau
setengahku bersamanya. Kuyakin kita kan terbiasa. Walau inti jiwa tak terima. (Fourtwnty-Hitam
Putih)
Kebetulan sekali ketika menulis ini,
playlist saya memutar lagu Fourtwnty-Hitam Putih. Pas sekali liriknya.
Oke, kembali ke cerita. Mungkin pertanyaan
yang muncul adalah, bagaimana pertama kali saya mengenalnya. Perkenalannya
biasa saja. Saya dan dia berada pada kelompok sosial (besar) yang sama. Mungkin
ini cukup untuk seseorang saling mengenal. Namun bagaimana hingga menjadi
dekat? Entahlah. Saya sendiri adalah orang yang cuek. Buruknya, saya memang
orang yang tidak terlalu peduli dengan siapapun manusia yang masuk ke kehidupan
saya. Cueknya saya ini gak ketulungan sepertinya. Sampai-sampai memang
sepertinya tidak ada yang betah lama-lama berinteraksi dengan saya. Lagipula,
mana seru berinteraksi dengan seorang yang cuek, dingin, tertutup dan pendiam.
cuek dan menutup mata |
Hanya saja, entah bagaimana, dia adalah
seorang yang amat bebal untuk terus-menerus mendekati saya. Hingga saya ambil
suatu kesimpulan: Cuma dia yang betah sama saya sampe sejauh ini.
Sebaliknya, dia pun mengatakan pada saya: kok kamu bisa segitu sabarnya sama
aku? Dia memang tipe manusia yang ‘menguji kesabaran orang’. Sebenarnya saya bukannya sabar, tapi cuek.
Saya tidak peduli dia mau terus dengan saya atau tidak. Namun tanpa saya
sadari, kami sudah lama terbiasa bersama.
Kami sama-sama bertahan satu sama lain,
hingga dekat. Sangat dekat. Setidaknya jika dibandingkan dengan interaksi saya
dengan orang lain. Untuk seorang seperti saya yang tertutup, entah bagaimana
saya bisa benar-benar mempercayainya kemudian menceritakan segala hal
kepadanya. Hampir semuanya. Bahkan persoalan keluarga, kecemasan saya, masa
lalu saya, segalanya yang tak akan pernah saya ceritakan pada sembarang orang.
Tanpa sadar, saya menyimpan trust padanya. Begitu pula dengannya. Dia menceritakan segalanya. Meski saya tidak
pernah tahu apakah di antara ceritanya benar atau tidak, bagian mana yang
fakta, bagian mana yang dikarang olehnya. Entah saya tidak bisa mengidentifikasi
lagi.
should trust no one |
Kebodohan pertama: terlalu
mempercayainya. Masih ada kebodohan selanjutnya: tidak pernah menyalahkannya.
Ini serius. Meski saya tahu dia yang salah, saya akan menyalahkan orang lain.
Saya akan memarahi orang lain. Saya benar-benar tidak habis pikir jika saya
ingat hal itu. Bagaimana bisa saya tidak berani mengatkan bahwa itu
kesalahannya, dan apa pun caranya saya
akan mencari kambing hitam lain untuk disalahkan. Aneh, saya tidak
menyalahkannya. Padahal dalam hati sebenarnya saya sadar betul bahwa dia yang salah.
Kebodohan selanjutnya: merasa hubungan
ini adalah yang terbaik, yang lain fake! Ini adalah kebodohan paling
bodoh yang saya rasakan. Kami mengambil kesimpulan ini karena kami sudah
sama-sama saling terbuka tanpa fake. Kami membanding-bandingkan hubungan
kami dengan orang lain. Orang lain yang fancy tapi pemanjat sosial, fake!
Orang lain yang sering upload foto kece di instagram tapi di dunia nyata
hubungannya tidak baik-baik saja. Orang lain yang punya kemewahan dan kami
pikir itu fake. Pokoknya orang lain fake, hanya kami yang paling
jujur. Kami yang paling apa adanya.
Saya kira ini aneh. Mengapa saya begitu
merasa penting untuk membandingkan hubungan kami dengan hubungan orang lain.
Mengapa pula saya terlalu mengasosiasikan gemerlap hubungan dengan fake.
Belum tentu semuanya begitu. Siapa tahu, mereka benar-benar tulus dan memang
menginginkan yang terbaik sehingga merayakan hubungannya dengan hal-hal indah.
Saya seperti terlalu superior dengan hubungan kami yang ‘apa adanya, jujur, dan
saling terbuka’.
Sebenarnya sudah sejak lama, saya ingin
‘lepas’ darinya. Namun, entah mengapa saya seperti belum bisa. Saya seperti
masih takut kehilangan. Saya seperti terdoktrin oleh mantra ‘gak ada yang mau
sama saya kecuali dia’. Bahkan dia pun
pernah menawarkan pada saya, untuk kami ‘berpisah’ namun tetap berinteraksi
sebagai teman biasa. Teman biasa yang hanya sekadar kenal saja. Waktu itu saya
belum bisa lepas darinya. Masih ada rasa takut dalam diri saya.
Siapa yang mau sama saya
Siapa yang betah sama saya
Siapa yang benar-benar mengerti saya
Kalimat itu terus menerus terngiang di
kepala saya. Kalau ditanya apakah saya pernah bertengkar dengannya. Tentu saja
jawabannya iya. Parahnya, saat itu anger management saya masih amat
buruk. Kalau sedang berkonflik, entah hal sepele atau memang masalah besar,
jadinya amat meledak. Ya, saya yang pendiam, saya yang terlihat tenang,
terbiasa memendam amarah dengan dalih bersabar, ketika sudah pada puncaknya,
maka pecahlah sudah. Namun, setelah itu saya dan dia bisa kembali baikan seolah
tidak terjadi apa-apa. Bisa ketawa ketiwi lagi bersama.
konflik |
Dulu saya kira itu wajar, toh memang
setiap hubungan pasti ada konflik dan memang seharusnya segera berbaikan
setelah marahan. Sayangnya, ada yang saya lewatkan. Setiap kali berkonflik,
saya hanya marah sampai reda, setelah itu melupakan masalahnya dan menganggap
semua baik-baik saja. Seharusnya, ketika berkonflik, kami membicarakannya,
menyelesaikannya, apa yang salah, bagian mana yang harus diperbaiki agar
nantinya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Setelah penyelesaiannya kelar,
baru baikan. Nah di situ saya menemukan titik hilangnya.
Long story short, ada sebuah
insiden yang membuat saya menyadari dia bukan lagi yang terbaik untuk saya.
Intinya, dia membuat luka yang amat sangat mendalam hingga mengiris trust
issue saya. Seorang yang padanya saya menyimpan trust, ternyata dia
malah merusak trust yang saya berikan. Saya merasa tidak bisa
mempercayai siapa pun kala itu. Saya berdiam diri di rumah untuk beberapa hari.
Menyadari bahwa selama ini sudah banyak yang telah saya lewati bersamanya. Saya
menyadari saya ingin pergi darinya sejak dulu, tapi tidak pernah bisa saya
lakukan. Takut. Hari itu saya membulatkan tekad untuk benar-benar lepas
darinya. Saya memakai sisa-sisa keberanian saya. Apa pun yang terjadi, biarlah.
Toh sebelum bersamanya, saya sudah terbiasa sendiri. Jadi, ketika lepas dari
dia pun, seharusnya saya juga bisa sendiri.
Saya berusaha menghindar darinya.
Ternyata dia pun memiliki rencana untuk pergi juga. Benar-benar pergi. Hingga
saat ini, saya sudah tidak lagi berkontak dengannya. Meski beberapa kali sempat
berinteraksi melalui sosial media, tapi saya benar-benar mengambil jarak dan
hanya berbicara formal saja. Namun saat ini tidak lagi. Saya memilih untuk
membatasi akses untuk berkomunikasi dengannya. Saya tahu, tidak baik memutus
silaturahmi. Namun, saya memilih untuk menyelamatkan kesehatan mental saya.
Saya rasa, saya berhak tenang tanpa bayang-bayang dirinya.
Ternyata, setelah saya lepas dari dia, saya
bisa benar-benar merasa bebas. Saya ternyata bisa mengenal berbagai orang
setelah kami berpisah. Ternyata tidak buruk-buruk amat. Saya pun bertemu dengan
orang-orang baik. Saya mencoba mengikuti lomba, magang, melakukan apa pun yang
membuat saya merasa bebas. Saya bahkan bisa solo traveling ke luar negeri haha.
Saya seperti menemukan kepercayaan diri, saya jadi percaya dengan diri saya.
![]() |
solo traveling |
Sebelum dengan dia, saya memang sering
jalan sendiri. Kemudian, ketika bersamanya, sering pergi dengan dia. Maka ketika
sudah berpisah, saya coba lagi sendiri. Dan ini menyenangkan. Saya menemukan
diri saya yang baru. Atau diri saya yang sudah lama tertutupi oleh ketakutan,
namun sudah tidak lagi. Ternyata
ketakutan saya yang dulu tidak terjadi. Setidaknya saya bisa diterima di
kalangan teman-teman sekarang. Meskipun tentu saja saya tidak bisa menyenangkan
semua orang. Namun saya rasa cukup.
Saya baru menyadari hubungan saya
beracun. Bukan hanya dia yang beracun bagi saya, namun saya juga beracun
baginya. Secara tidak sadar, kami sama-sama saling menyakiti dan meracuni. Saya
bisa memaklumi. Mungkin kala itu saya masih kurang baik kemampuan sosialnya.
Mungkin dia saat itu masih belum selesai dengan dirinya dan masa lalunya.
Banyak alasan, banyak faktor. Kami adalah dua orang yang sama-sama masih
mencari jati diri dan berusaha mengenali diri sendiri. Mungkin dari hubungan
beracun itu, kami sama-sama belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.
0 komentar
Silakan berkomentar, terima kasih sudah menyampaikan dengan sopan :)